Perempuan dan keranjang roti

Dua hari lalu, saya menjadi saksi mata perang mulut antara seorang perempuan dengan sopir taksi yang saya tumpangi. Kami hendak ke kota, dan tentu semua orang memang hendak bergegas ke kota membeli apa-apa yang perlu untuk pesta natal. Kemacetan menggoda banyak sopir saling mendahului sampai-sampai menjadikan trotoar jalan baru, tak terkecuali taksi kami ini. Seorang ibu bersetelan hitam-hitam dengan keranjang di tangan melangkah di bawah terik matahari, sementara taksi kami merengsek maju di trotoar yang sama. Merasa seperti dihalang-halangi, sang supir mengumpat dan mencaci maki ibu yang tak berdosa ini. Jadilah perang mulut. Saya merasa makin tak nyaman ketika supir di samping saya itu mengeluarkan kata-kata kotor dan merendahkan sang ibu.

Perempuan dengan keranjang roti itu mengingatkan saya pada Naomi, yang meninggalkan Bethlehem karena bencana kelaparan menuju negeri asing, Moab. Kedua anaknya menikahi dua perempuan Moab, di antaranya Ruth. Ketika kelaparan usai, Naomi ingin kembali ke Bethlehem. Hanya Ruth yang memutuskan pergi menemani mertuanya. Yang seorang lagi memilih tinggal. Sebab, semenjak kedua anaknya meninggal, Naomi minta pada kedua menantunya untuk tetap tinggal dan menikah lagi. Ruth ingin bekerja menafkahi Naomi. Mereka kembali ke Bethlehem dan keduanya bekerja sebagai buruh panen di ladang gandum Boaz. Anda saya biarkan terus membaca kisah yang mengagumkan ini; bukan hanya tentang cinta antara Ruth dan Boaz; tapi tentang agungnya cinta itu sendiri, sebagai penerimaan dan penyambutan tanpa syarat; ketika orang asing menjadi saudara; ketika perempuan dilihat sebagai ibu dan saudari; bukan untuk dicaci atau dieksploitasi.

Bethlehem dalam bahasa Ibrani berarti Rumah Roti. Peremuan dengan keranjang dan juga kisah Ruth adalah tragedi; ketika kita melihat masih banyak orang yang kelaparan di negeri sendiri; menjadi asing di negeri kelahirannya, seperti sang bayi Natal yang ditolak di kotanya. Natal tak bisa dipisahkan dari Ekaristi. Natal bagi saya adalah pesta roti dan rumah untuk semua. Tuhan tidak hanya menjadi manusia, tapi ia menjadi roti ekaristi yang kita sambut setiap hari; menjadi yang paling lapar dan paling lemah yang mesti kita cintai setiap hari. Ibu dengan keranjang tadi, akhirnya mengalah dan melangkah pergi. Di tengah hiruk pikuk orang, hanya satu kata yang terdengar jelas di telinga: Natal. Saya pikir, karena Natal lah sang ibu mengalah dan mengampuni supir yang bagi saya tak seharusnya diampuni itu. Tuhan, biarlah kuisi keranjang hidupku dengan kelahiranmu, dengan hidupmu, dengan cinta ekaristi, ketika hatiku menjadi roti dan rumah bagi semua.

Selamat Merayakan Natal

ronald tardelly


Kalau Unta Berhasil Masuk Lubang Jarum

Seorang kaya suatu hari datang mendekati Yesus dan mengajukan pertanyaan serius ini: “Tuhan, apa yang harus kubuat, agar aku bahagia?”. Dia bukan peminum, apalagi pemabuk. Hidupnya suci, dia melakukan semua yang dianjurkan oleh kitab suci dan melaksanakan hukum-hukum taurat. Dia datang dengan penuh keyakinan dan tidak membayangkan yang lain selain afirmasi Yesus. Yah, Tuhan membenarkan apa yang telah dibuat orang baik ini. Namun, rupanya Yesus belum selesai bicara. Dia melanjutkan: “jika engkau ingin sempurna, juallah segala milikmu dan berikanlah semuanya untuk orang miskin. Setelah itu ikutilah aku…Jawaban ini tentu mengejutkan.
Dengan melemparkan tantangan ini, kalau ingin sempurna, Yesus rupanya mau bilang bahwa menjadi baik saja tidak pernah cukup untuk seorang kristiani. Kita perlu menginginkan yang lebih dari itu, yakni menjadi lebih baik tanpa harus menjadi paling baik. Menjadi bahagia, hemat saya adalah perjalanan untuk semakin hari menjadi semakin lebih baik. Yesus menyediakan syarat yang sangat jelas walaupun seringkali salah diartikan. Ada tiga sikap (lebih dari pada tindakan) yang tidak terpisah satu dengan yang lain.
Pertama menjual segala harta milik kita lalu kedua memberikannya pada orang miskin. Dua kalimat yang setara. Yang satu tentu tidak berarti menuntut kita membuat sebuah bazar gratis di mana kita akan menjual segala milik kita bahkan pakian yang melekat di badan sekalipun. Bukan di sini letak sifat ekstrem perintah Yesus. Pun meski kita kemudian rajin bersedekah atau memberi derma pada orang miskin, bukan di sana letak radikalitas pesan Yesus. Yang pertama adalah undangan untuk melepaskan sikap ‘tergantung’, ‘ketagihan’, lengket pada harta benda, atau idola pada pekerjaan, karir, nama baik, popularitas, ide, dan semua yang menggoda kita memutlakan diri kita sendiri. Yang kedua merupaka kelanjutan daripertama, kemurahan hati, hidup yang tak lengket yang tidak berpusat pada dirinya adalah hidup yang dengan sendirinya mudah memberi. Buah diciptakan untuk memberi, demikianlah kenapa tak satu pun buah di bumi kita yang begitu sulit dipetik untuk dimakan. Dua keutamaan ini, berakar pada undangan yang ketiga, ikutilah aku…
Mengikuti pertama sekali , berjalan di belakang. Nah, memilih untuk lepas bebas dan bermurah hati adalah pilihan yang kita buat karena Yesus, karena Dia sendiri telah melakukannya. Yang kedua, mengikuti Dia Berarti menjadi serupa Dia. Menjadi, in becoming adalah sebuah perjalanan panjang. Saya teringat kisah Yunus yang hampir selama sepekan ini kita renungkan dalam misa harian. Ia dipanggil Tuhan untuk memperingati orang Niniwe tentang kehancuran yang akan terjadi atas mereka jika mereka tidak bertobat. Yunus melarikan diri karena dia tahu Tuhan akan bermurah hati dan mengampuni. Harus menerima kenyataan bahwa Tuhan bermurah hati pada musuh kita, pada orang yang kita benci, yang kita anggap ‘kafir’ tidak bisa ditanggung Yunus, seorang Israel sejati yang sedari dulu percaya bahwa hanya Israel lah yang Tuhan cintai. Dia lari, menyingkir, bersembunyi bahkan menyesal pernah mengenal Tuhan, hingga akhirnya lewat pertolongan seekor ikan Yunus diselamatkan dari maut di tengah pelariannya. Pengalaman inilah yang pelan-pelan mengubah hati Yunus sebelum akhirnya dia pergi mewartakan peringatan pertobatan pada orang-orang Niniwe.
Lebih mudah seekor unta masuk lewat lubang jarum daripada seorang kaya masuk kerajaan surga. Alegori ini tidak lain mau mengatakan bahwa, kita tidak bisa mengerti dan mulai merasakan surga kalau kita belum mampu membebaskan diri dari segala keyakinan keliru kita tentang siapa Tuhan dan juga tentang orang lain. Orang lain, bahkan musuh kita dicintai secara istimewa dan bahkan secara sama oleh Tuhan sebagaimana Ia mencintai kita sendiri. Maaf, jangan memakai kriteria sama seperti yang kita inginkan. Kita mesti mencintai musuh juga justru karena kita mau mewartakan pada-Nya bahwa Tuhan mencintai dia.
Anda tahu Friederich Nietzche bukan?, filosof yang dianggap musuh orang beragama, bahkan oleh orang Kristiani sendiri, karena dia yang paling keras memelopori ‘pembunuhan’ Tuhan dan menyingkirkan-Nya dari sejarah kita: bunuhlah Tuhan, dan hiduplah manusia, itulah slogan ateisme modern yang dicetuskan filsafat subjek. Sebenarnya, ini bukan penemuan Nietzche, pun dia tidak mewartakan sesuatu yang baru tentang Tuhan, apalagi tentang kematian-Nya. Tuhan memang telah mati, tapi Dia bangkit dan hidup. Ia mati justru supaya manusia, yakni kita hidup bukan? Kitab suci memberi kesaksian tentang itu, dan Gereja sudah sejak lama mewartakannya. Bedanya, kita tidak bisa menyingkirkan Tuhan, ataupun lari dari-Nya. Lihatlah orang seperti Nietzche ternyata juga tetap membantu kita mengerti Tuhan;. Betapa pun jeleknya Nietzche di mata orang beriman, toh dia pantas kita hormati karena mengingatkan kita pada misteri cinta Tuhan (pendapat pribadi), yang tidak pernah menyingkir dari sejarah kita, biarpun kita tidak lagi mau mencintai-Nya, menolakNya. Tuhan tidak mati, Ia hidup di antara kita yang tanpa melihat latarbelakang agama, atau kategori sosial lainnya menolong saudara-saudara kita yang menderita di Padang atau di manapun. Inilah yang harus kita wartakan sementara kita berjalan mengikuti Yesus. Dengan mencintai seradikal Yesus, alegori tadi menjadi puisi indah, bahwa kita bisa membuktikan mungkin saja unta itu melewati lubang jarum.
ronald,sx
waktu saya merasa lebih baik berjalan ke surga menunggangi seekor keledai


Jackson dan kalau Tuhan nge-rock n’ roll

Hampir genap seminggu, cerita tentang kematian Michael Jackson belum juga berakhir. Orang-orang Kamerun punya cara sendiri menghormati bintang yang mewakili kemenangan orang-orang hitam, atau lebih tepat orang marginal. Tak salah kalau stasiun tv Kamerun, dalam sebuah studio ala kadarnya, mementaskan Jackson made in Cameroun, dan adalah seorang Albino yang nyaris sempurna memerankan Michael Jackon. Orang-orang Albino adalah kelompok orang yang sering dimasukkan dalam kategori ‘lain’ atau ‘margin’ karena masalah genetik, tak terkecuali di benua hitam ini.
Meski di tahun-tahun terakhir, popularitas dan laku hidupnya yang memburuk sejak tuduhan pedofile di Neverland, toh jutaan orang menangisi kepergian bintang yang menginspirasi mimpi-mimpi pemusik jalanan di banyak benua. Kematiannya yang masih menjadi teka-teki menambah daftar kematian tragis bintang-bintang pop dan rock n’roll. Kehidupan yang absurd, yang habis tanpa makna, demikian orang-orang beragama, menghakimi kematian bintang-bintang pop dan rock yang hidupnya penuh glamour pesta, seks, minuman dan hura-hura.
Penilaian macam itu memang tidak tanpa alasan. Rock identik dengan pemberontakan, perlawanan, anti system/struktur dan semuanya itu hampir dengan sangat jelas diperlihatkan oleh hidup para rockers: bebas, urak-urakan, spontan tak tahu malu. Sifat musik rock yang kompleks, bebas, penuh spontanitas dan ekspresi seperti menyatu dalam hidup para rocker. Namun, penilaian tadi tidak harus kita jadikan kesimpulan final dari genre musik yang sejarahnya lumayan panjang dan kompleks, yang darinya bahkan lahir musik pop. Ingatlah, Bon Dylan atau The Beatles di tahun 70-an yang merintis renaissance musik rock, yang bertransformasi menjadi pop, slow rock dengan lirik-lirik yang poetik hingga lepas landasnya dalam berbagai genre musik seperti punk rock, rock alternatif, rock progresif, dan seterusnya. Semuanya tetap membawa ciri yang sama, improvisasi mana suka, melodi dengan ritme 4/4, hidup dan menghentak-hentak.
Rock bagaimanapun sebuah cerita, sebuah mimpi dan sebuah aspirasi tentang kehidupan yang penuh. Mungkin itu termanifestasi dari namanya, to rock, to balance. Bukankah hidup yang penuh itu, adalah hidup yang seimbang? Dan para pelaku musik rock mengungkapkan itu dalam lirik-lirik mereka yang romantis, yang terus terang, vulgar, sensual dan bahkan hampir tak memberi tempat pada Tuhan atau kata religius lainnya.
Bahwa Michael Jackson mati, itu tidak berarti bahwa cerita musik rock selesai. Bahkan rock seperti selalu tidak memberi tempat pada Tuhan-nya orang-orang religius. Rock adalah anak kandung modernitas, bahkan ekspresi dari apa yang disebut agnotisme modern. Orang agnotis adalah orang yang tidak menolak total eksistensi Tuhan, tapi orang-orang yang merasakan bahwa Tuhan seperti absen, tak hadir di dunia, apalagi di hadapan persoalan-persoalan konkret hidup kita: penderitaan, relasi, kemiskinan, bencana, hidup bersama, cinta, seksualitas, dst..Orang agnotis adalah orang yang tidak tahu bagaimana bias menghadapi masalah itu selain dengan merasa Tuhan tidak terlalu banyak urusannya di dunia ini. Dan itulah kenapa kita susah menemukan nama Tuhan dipuji dalam musik rock.
Namun jangan terlalu cepat menilai bahwa pengalaman absennya Tuhan tidak berarti tidak ada sama sekalinya pengalaman akan Tuhan dalam musik Rock. Sex Pistols, Queen, Metalica, Iron Maiden, Black Sabat, dan kelompok pemusik atheis agnotis lainnya, mengalami Tuhan secara negatif, yang absen. Dengan mengatakan Tuhan absen, bukankah pada saat itu mereka mengakui Tuhan ada? Jackson mati, dan rock tetap sebuah pertanyaan dan pencarian yang tanpa henti tentang kesempurnaan, kehidupan dan kebahagiaan yang sejati. Rock my life, lagu pertama Jackson dalam album Invisible tahun 2001, meski tidak bercerita tentang Tuhan, bagaimanapun juga mewakili kehausan dasar hidup kita, dipenuhi dan disempurnakan oleh cinta yang lain. Dan itulah kehausan manusia modern...Tempat kita orang beriman, ada di situ. Kalau Tuhan absen, tugas kitalah yang menghadirkan-Nya.
Kemarin pagi, saya berhasil mendatangi dan berdamai dengan seorang ibu. Sebelumnya dia datang ke rumah kami dan marah karena saya terlambat membukakan pintu. Dia ingin ketemu seorang romo. Saya tentu saja spontan marah, mosok tuan rumah yang baru saja membukakan pintu langsung diberondong celotehan tanpa alasan. Rock my life, imbangi dan penuhilah hidupku Tuhan. Itulah doa kecil yang memberanikan saya mendatangi beliau. Dan lewat hidup andalah Tuhan tetap bisa nge-rock n’roll.

Yaoundé, 12 Juillet 09

Ronald,SX






Forest Gump dan Bodohnya Tuhan

Lebih dari tiga jam perjalanan, menyusuri jalan panjang yang membelah hutan-hutan Cameroun, kisah Forest Gump terbayang dalam pikiran. Mungkin karena hutan-hutan yang masih lebat dan hijau sejauh mata memandang membuat cerita sutradara Robert Zemeckis itu seperti mengejawantah seolah seperti kisah saya sendiri.
Bersama mobil yang berlari di rimbunnya pohon, teriakan Jenny Curan pada si cacat Forest, terbayang : “Run Forest, Run.. Lari Forest, Lari”..Begitu teriak si kecil Jenny melihat Forest dikejar oleh teman-teman yang kesetanan mau menyakiti dia. Dan ajaib, kesembuhan si bodoh Forest bermuda dari situ. Alat bantu yang terpasang di kakinya satu per satu terlepas ketika ia mencoba berlari, lari dan berlari sekuat tenaga. Teriakan penuh cemas sekaligus cinta sahabatnya yang menyembuhkan dia…Forest banyak bicara tentang hidup kita. Penyakit fisik entah yang ringan ataupun yang parah, kegagalan dalam pekerjaan atau usaha, hasil yang tidak optimal dicapai, musibah dan bencana yang tak diinginkan, hingga kehilangan orang-orang yang kita cintai, membawa kita pada situasi batas, keadaan di mana kita merasa seperti orang yang paling bodoh dan tak ada artinya. Pergi mengungsi ke bar dan minum banyak obat penenang adalah jalan ‘mudah’ untuk menghapus batas-batas itu. Minder dan sejenisnya tak kurang juga adalah ungkapan ‘ketidaknyamanan’ berhadapan keterbatasan. Memang keterbatasan itu dalam kisah hidup kita, lebih banyak menggangu. Padahal di ujung keterbatasan itu, sebenarnya keajaiban tengah menunggu, seperti yang dialami Fores. Tentu kalau keterbatasan itu dihidupi dan dihadapi dengan baik. Benarlah kata Forest bahwa stupid is as stupid does. Orang yang dungu sebenarnya adalah orang yang melakukan kebodohan. Begitupun kalau keterbatasan disikapi dengan bodoh atau tak bijaksana.
Lari Forest, lari…, teriakan ini seperti meringkas jalan hidup kita. Pikirkanlah guru SD kita yang bersusah payah membuat kita membaca atau guru matemática yang membuat kita bisa berhitung. Pikirkan juga ibu yang pertama kali menuntun kita berjalan dan melepas kita berlari penuh cemas, serta begitu banyak orang dengan cara mereka sendiri mengungkapkan cinta dan dukungan mereka. Keterbatasan menjadi keajaiban justru karena ada orang-orang yang mencintai kita, yang mendorong kita untuk tidak terlalu lama berhenti atau menangisi perhentian kita.
Rasul Paulus pada minggu ini bertolak dari pengalaman keterbatasannya sebagai seorang rasul, meyakinkan kita begini: dalam kelemahan Rahmat Tuhan justru berlimpah ruah dalam diri kita. Ketika aku lemah, saat itulah aku kuat. Keajaiban dalam keterbatasan itu mungkin kalau kita mengijinkan Tuhan dengan rendah hati menyelesaikan apa yang sungguh tidak bisa kita selesaikan, mempercayakan pada-Nya seluruh apa yang belum kita capai. Keterbatasan kita yang diterima dengan rendah hati, adalah ladang garapan baru bagi Tuhan untuk digarap dan menghasilkan buah. Begitu pun dalam pengalaman keberdosaan, semakin dosa bertambah besar, semakin rahmat berlimpah ruah, jika kita percaya dan mau selalu datang mempercayakan diri pada Tuhan yang mencinta tak kenal batas ini. St. Yohanes Maria Vianney, idola kita tahun ini, menulis begini: Tuhan sedemikian mengasihi kita sehingga ia lupa bahwa kita selalu bisa berbuat dosa lagi…Inilah kebodohan Tuhan yang adalah rahmat dan keajaiban bagi kita.

Douala, 5 Juillet 09


Kalau Ayah Juga Ikut Melahirkan…
Saya kurang tahu apakah anda sepakat kalau suami adalah orang pertama yang paling kuatir dan paling takut pada saat proses persalinan istrinya berlangsung. Mungkin pengalaman saya terlalu partikular untuk menyatakan ini : ketika saya melihat papa saya menunggu kelahiran adik bungsu lebih dari delapan belas tahun lalu. Saya percaya masih banyak lagi pria-pria yang hidup sebagai suami yang setia sekarang ini menunggu kelahiran anak mereka di ruang bersalin, poliklinik dan rumah-rumah sakit di seluruh dunia.
Saya mau memberi perhentian atau jeda secukupnya atas pengalaman banal atau yang mungkin tidak kita perhitungkan istimewa mengingat bahwa peran ibu sebagai tokoh penting kelahiran kehidupan baru tidak tergantikan dan tidak bisa disejajarkan dengan peran ayah. Saya memberi jedah, karena saya menemukan bahwa meskipun peran ayah tidak sama dengan peran ibu, toh tidak berarti tak punya nilai... Pribadi ayah adalah juga bagian penting dari proses terjadinya kita.
Kata melahirkan selalu dan tak dapat ditampik kita terapkan pada ibu, pada perempuan yang melahirkan. Dengan melahirkan, perempuan menjadi atau makin menegaskan peran keibuannya. Di mana tempat pria atau lebih tepat ayah dalam makna yang mau ditunjukkan kata kerja itu ? Rasanya perlu bertanya lagi pada ayah kita, (kalau masih hidup) apa yang dia lakukan ketika ibu kita menghadapi detik-detik persalinan kita. Kecemasan, apakah kita lahir selamat atau tidak, ketakutan akan resiko yang terjadi pada sang istri tercinta yang bersatu dengan kerinduan dan harapan melihat kehidupan baru membuat ayah saya, -dan saya percaya terjadi pada banyak ayah dan suami – tetap berjaga tiap malam sejak ibu memasuki bulan kesembilan perkandungan, saat dia mulai mengeluh sakit hingga akhirnya melahirkan…Sikap berjaga seorang ayah adalah manifestasi kehendaknya agar kita ada dan hidup, sikap berjaganya adalah sebuah penyambutan. Dan dari sana saya mengerti, kita tidak cukup lahir dari rahim ibu, tapi juga lahir dari hati ibu dan ayah kita. Keduanya menghendaki kita ada, itulah yang melahirkan kita.
Saya mengenang ini setelah membaca kisah Yesus Menghardik Angin Ribut. Murid-murid yang menyeberangi danau dengan perahu tiba-tiba disergap angin badai yang membuat laut menggelora dan mengombang-ambingkan perahu mereka. Sementara Yesus masih tertidur di buritan. “Tuhan apakah engkau tak peduli kalau kita binasa?” teriak seorang murid yang ketakutan. Tuhan bangun lalu menghardik laut hingga tenang.
Ayah membantu saya memahami inti kisah ini, yakni Allah yang senantiasa berjaga meski dia nampak seolah tidur dan tak peduli. Seperti ayah yang selalu berjaga menanti kelahiran anaknya atau seperti ibu yang selalu berjaga di hari-hari pertama kelahiran sang bayi, demikian Tuhan mengingat kita dalam hatinya dan melindungi kita. Tidak keliru kalau Yesus mengigatkan bahwa tak satupun rambut di kepalamu yang tak terhitung oleh Bapa di surga. Saya ingat pula dua atau tiga tahun lalu di Carolus saat menunggui seorang konfrater dalam keadaan koma berat. Ada sedikit ngeri dan takut kalau dia mati saat saya yang menunggui. Lebih takut lagi kalau itu terjadi sementara saya tertidur atau berada di luar kamar jaga. Mengingat kembali peristiwa itu, saya mengerti sekarang bahwa Tuhan sejak kita dilahirkan hingga saat kematiaan kita, senantiasa di samping, senantiasa berjaga menemani kita menghabiskan satu perjalanan kehidupan yang indah. Saya percaya, Tuhan jauh lebih setia dan lebih sungguh berjaga di samping konfrater saya sehingga akhirnya dia sembuh.
Tuhan yang tidur adalah Tuhan yang lupa…Tapi eeiitt, sabar dulu, dia bukannya lupa atau tidak peduli kalau kita, seperti para murid, akan binasa. Hanya satu yang ia lupakan yakni bahwa kita selalu bisa lupa percaya padanya. Dia sedemikian mencintai kita sehingga dia lupa yang satu ini dan selalu bisa tak terbatas memaafkan ketidakpercayaan kita…

Salam

Ronald,Sx

Yaoundé-Cameroun

Dari Psyché, Eros hingga Issabelle Boulay...

Tuhannya Orang-Orang Kasmaran Pasti anda akrab dengan gambar simbolik hati yang ditembus panah, simbol yang lahir dari indah serta sekaligus peliknya hubungan cinta manusia yang satu dengan yang lainnya, khususnya pria dan wanita. Dan kita seperti wajib mencantumkannya entah di surat entah di buku sebagai sungguh sebuah pernyataan bahwa kita tertambat, terpikat ; bahwa kita jatuh cinta seperti Eros putra Aphrodite (dewi cinta). Karena cemburu akan kecantikan Psyché, putri seorang raja, Aprodite menyuruh putranya menghujamkan sebuah panah tepat ke hati Psyché agar dia tidak mampu lagi memikat seorangpun. Tapi, cinta bercerita lain. Eros pun jatuh cinta pada Psyhce dan lebih memilih menyelamatkannya ke sebuah kuil. Eros malah yang ‘dihujam’ kesempurnaan si cantik Psyché. Beginilah mitos Yunani membahasakan kemenangan cinta. Saya mengingat kisah ini begitu mendengar lantunan manis lagu Dieu des Amours –nya Issabelle Boulay, yang lagi laris manis di negara-negara berbahasa perancis sekarang ini. O mon amour, Dieu des amours, O mon amour, aide moi…begitu refren yang sedemikian menghentak-hentak hati saya hingga berulang-ulang saya menyanyikannya dan bahkan membantu saya mengerti misteri Hati Kudus Tuhan yang kita rayakan minggu ini. Isabelle mengadu pada Tuhan kenapa kekasihnya pergi tanpa meninggalkan satu kata pun. Ia mengaku bahwa kekasihnya tetap ‘tertinggal di hati’ meski dia pergi tanpa bilang apa-apa. Ia mengadu pada Tuhan bahwa bagaimana pun mencintai itu harus diungkapkan dengan kata, aimer n’est donc qu’affaire de mots pour toi qui es parti sans un mot. Seorang serdadu menikam lambung Yesus dengan tombak, untuk memastikan bahwa dia benar-benar mati…Inilah kisah yang menjadi kunci peringatan penting ini. Baca dan renungkan baik-baik adegan ini. Di situ saya menemukan serdadu yang mewakili kita semua, orang-orang berdosa yang meski berdosa memilih untuk bertobat dan mencintai Yesus sepenuh hati. Menikam lambung Yesus bagi saya hádala sebuah pilihan radikal, masuk ke kedalaman hidup Yesus. Bagai Eros yang akhirnya memilih mencintai Psyché walau sebenarnya ia datang untuk mencelakainya, demikian kita yang berdosa tapi akhirnya memilih mencintai Yesus karena terpikat oleh hatinya…Hatinya yang terobek dan darinya mengalir air dan darah, itulah hati Allah yang memberi kita kehidupan (yang kita rayakan dalam pembabtisan kita). Hati yesus yang mahakudus adalah hati Allah sendiri, hati yang selalu memberi tempat untuk kita, meskipun dilukai. Kita dipanggil sebagai orang Kristiani untuk memiliki hati sesuci Tuhan, yang juga siap ‘dilukai’ oleh Tuhan. Memilih masuk ke kedalaman hati Tuhan, tak lain membiarkan Dia juga masuk dalam kedalaman hati kita, dan ini pun tidak kurang menyakitkan. Pasti sakit merelakan kehendak Tuhan yang terlaksana daripada kehendak kita sendiri, pasti tidak mengenakkan jika kita akhirnya memilih taat pada suara hati – di mana Tuhan bicara – daripada membiarkan nafsu, pikiran pintas dan selera kita bekerja dan. Pesta hati kudus Yesus serupa sebuah cermin, padanya kita berkaca melihat seberapa kuat kita menanggung luka karena memilih mencintai, seberapa kuat kita tangguh merangkuh dan merangkul orang yang melukai kita. Rasa ‘sakit’ karena memilih mencintai sebenarnya menyembuhkan luka yang disebabkan musuh kita. Saliblah yang mengajarkan itu. Dan janganlah takut belajar pada salib, pada hati kudus Yesus. Biarkanlah salib menikam hati kita, melukai kita dengan pertimbangan-pertimbangannya, karena dengan itulah kita menjadi matang dan sempurna sebagai seorang pribadi. Dengan pertimbangan yang sama, seraya mengingatkan anda bahwa pada hari ini Gereja Katolik Universal memulai sebuah tahun khusus bagi para imam/pastur, saya memikirkan kisah Lia sebagai komentar dalam tulisan saya terdahulu. Ia menulis seperti berikut ini; jadi inget kata temen tentang konsekrasi. bahwa hosti itu tetap suci, walau yang membawa (baca: Romo) kadang orang bejat dan paling nista sekalipun. Kisah kecil ini rasanya bagus kita konfrontasikan pada ikon serdadu-salib. Bukan cerita baru kalau di sekeliling kita kita mendapati hidup pastur atau imam yang buruk atau –mengikuti kata teman Lia – ‘bejat dan nista’. Para imam itu, bagi saya, bagaikan serdadu yang menikam lambung Yesus. Dalam segala kelemahan manusiawinya, seorang pastur berjuang untuk makin sempurna menyerupai Yesus, dengan menikam, mempersembahkan hidupnya bagi Tuhan dan umat. Dalam perjalanan panjang saya hingga ke Afrika, saya berjumpa dengan begitu banyak pastur yang dalam segala kelemahan mereka berusaha tetap memilih setia. Pikirkan itu! Pikirkan juga para pastur yang telah meninggalkan dan merelakan banyak hal, termasuk cinta manusiawi– yang tak sedikit juga diimpikan oleh orang-orang dekat – demi pemuliaan nama Tuhan yang makin besar. Bahwa ada pastur yang tak karuan, itu benar…bahwa kita dipanggil untuk mendoakannya, …itu wajib, sebab kita para umatlah yang ikut menyempurnakan pengorbanan cinta seorang pastur bagi Tuhan. Kelemahannya dan cinta anda para umat itulah yang tetap menyucikan Gereja…Kami yang mempersiapkan diri untuk jalan sederhana ini tak kurang bersama Isabelle Boulay sekali lagi melagukan ini: O mon amour, Dieu des amours, O mon amour, aide moi


OBESITAS MODERN DAN TUBUH EKARISTI

Dengan dua tongkat besi yang setia menenmaninya, Mina, demikian perempuan tua yang lumpuh sejak masa kecil setelah kecelakaan mobil, setia menyusuri jalan sepi menuju Katedral, sebelah rumah saya. Dan setiap pukul enam, dia sudah duduk di dapur, menyalakan api dan menyiapkan air panas sebelum saya dan ibu bangun. Demikianlah caranya mampir di tempat kami. Tiga belas tahun sesudahnya, ketika saya kembali, ia tak lagi melihat, duduk menghabisi hari di kamar dengan wangi yang sudah akrab di hidung saya, wangi seorang tua, seorang perawaan dengan rosario di tangan...
Waktu saya menyanyikan doa yang ditulis Thomas Aquinas pada abad 13, lauda sion, wajah perempuan ini hadir dalam ingatan. Thomas Aquinas menulis doa ekaristi ini dengan indah : o roti para malaikat, santapan peziarah. Dan betapa Mina itu adalah roti malaikat bagi kami. Meski cacat, kehadirannya di tengah keluarga kami pun walaupun hanya pagi hari, telah membawa sesuatu yang lain dan unik, justru setelah papa saya mati terlalu dini. Mengingat Mina dan mendoakan baris-baris pertama Kidung Sion, membantu saya memahami pesta tubuh dan darah Kristus hari ini.
Mina melewati hari-harinya dengan melakukan keajaiban sederhana, dengan mempersembahkan tubuh yang cacat –yang bagi kebanyakan kita selalu seperti tidak lagi banyak gunanya- bagi yang lain. Kehadirannya paling kurang saya rasakan meneguhkan saya, ibu dan saudari/a saya bahwa kami tidak sendiri. Pekerjaan kecilnya, membantu ibu saya, sebisanya memasak dan duduk menemani kami ngobrol, adalah hal kecil yang sedemikian berharganya sehingga tetap tertinggal di hati saya. Itulah hosti kecil, yang dibagi-bagikannya bagi kami. Saya percaya Tuhan telah memberi kami rotinya, tidak saja melalui ekaristi, tapi juga lewat tubuh-tubuh setiap orang yang telah menerimanya...Ia mengirim setiap kita justru untuk menjadi makanan bagi manusia yang lain seperti yang dibilang Thomas Aquinas, le pain pour l’homme en route, makanan bagi manusia yang sedang berziarah, yang tentu tidak selalu menemukan oase kegembiraan, tapi juga kehilangan, kesedihan, kemiskinan, kematian, kesepian, kehilangan kepercayaan sebagai orang yang dicintai, dalam perang, dalam pengasingan dan dalam pengungsian…
Lewat Ekaristi, Yesus memberi arti yang paling otentik bagi tubuh kita pula, bahwa tubuh itu bernilai karena terarah pada yang lain, sebagai pemberian cinta tanpa syarat. Modernitas, juga apa yang disebut postmodernitas meski membantu kita mengafirmasi (bukan menemukan ) arti mendalam diri sebagai subjek yang bebas, toh meninggalkan resiko yang tak kurang berbahayanya. Apa yang dalam bahasa saya sendiri, obesitas modern, ditandai bukan hanya perkembangan tubuh fisik yang tak seimbang, tapi juga perkembangan cara pandang yang tidak seimbang tentang tubuh. Berakar pada konsumerisme, obesitas modern membuat kita tidak lagi memikirkan arti sosial dari tubuh (atau yang dibilang Foucald, Tubuh Sosial). Misalnya, kosumerisme entah terhadap manifestasi elektronik –teknologi seperti televisi, internet, dan lainnya, menghabiskan waktu kita, membuat jam tidur dan istirahat kita tak lagi teratur dan pada gilirannya mengurangi efektivitas kerja. Dalam tingkat yang lebih mendalam, relasi terhadap yang lain berubah, termasuk pengertian tentang kedalam arti seksualitas. Generasi muda kita, yang sering tidak diperlengkapi dengan baik, disergap tayangan-tayangan yang mengubah cara pikir mereka tentang tubuh, relasi dengan orang lain dan bahkan seksualitas mereka.
Obesitas modern menggoda kita untuk berpikir seolah-olah waktu tak lagi punya batas. Paradoksnya, tubuh kita mengatakan yang sebaliknya. Ia merasakan keterbatasan itu dengan bahasanya sendiri : lelah, capai, kehilangan energi, dan seterusnya hingga akhirnya beberapa dari kita harus mati tapi dengan penyesalan mendalam meninggalkan raga yang tidak dirawatnya dengan baik, termasuk juga untuk orang lain.

« Inilah Tubuhku (yang dikurbankan bagimu) », kata-kata konsekrasi Yesus ini serasa bergema kuat hari ini dalam hati, sebuah penegasan tentang diri yang amat mendalam. Di satu pihak kata-kata itu meminta kita menghargai tubuh kita, mencintainya dengan tepat, merawatnya dengan bijaksana. Di lain pihak, ia menegaskan kepenuhan arti tubuh itu yakni sebagai persembahan bagi yang lain. Inilah sama dengan menghunjukkan, memperlihatkan, mempersembahkan dan semua itu terwujud ketika hadir di tengah mereka yang paling membutuhkan…Ekaristi, itulah sejati kita para peziarah, di tengah banyak jajaan obesitas modern di sekeliling kita.

Salam,

Ronald, sx
Yaoundé.

Blogger Template by Blogcrowds