Sekuat Embun Pagi Ini

Setiap pagi kita mesti bangun. Di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan pkl.05.00 orang mesti sudah berkemas-kemas berangkat kerja sebelum dihadang kemacetan. Dan kebanyakan kita melewati hampir setiap pagi dengan sepotong roti dan air segar di dalam mobil kita atau di dalam angkutan umum yang sudah penuh sesak. Sebab menyiapkan sarapan dengan tenang di rumah hampir mustahil. Segera sesudah itu kita akrab lagi dengan gedung-gedung tinggi, dihibur oleh billboard-bilboard raksasa yang lewat di depan kita kemudian tiba di kantor, naik lift dan akhirnya kembali berkutat dengan pekerjaan kita sampai payah dan letih.
Setiap hari kita hampir selalu begitu sampai kita mendapati diri tengah bertambah letih, bosan bahkan menjadi terus tua. Tak terasa dua puluh lima, tiga puluh, empat puluh tahun usia kita atau bahkan sebentar lagi anda harus pensiun dan sekarang masih terus menekuni pekerjaan yang sama, mungkin juga dengan gaji yang naiknya tidak pernah signifikan; kita masih berjumpa dengan rekan yang baru atau atasan yang baru; kita juga masih hidup sendiri, masih hidup dengan istri dan suami yang sama…Waktu berubah dan kita berubah di dalamnya.
Boleh saja seiring dengan bertambahnya waktu, gaji kita bertambah, jabatan kita naik dan reputasi kita melonjak. Akan tetapi, menyedihkan jika kita tidak pernah bertambah bahagia di dalamnya. Kita masih seperti yang dulu: orang yang terlalu sibuk dengan diri kita sendiri. Dan kita mendapati diri sebagai orang yang paling banyak kehilangan di antara begitu banyak pencapaian-pencapaian yang kita miliki. Masalahnya bukan sesederhana misalnya bahwa kita kehilangan kesempatan untuk pacaran dan membangun rumah tangga karena sibuk bekerja; bukan sekadar kita kehilangan kesempatan paling tidak sekali seminggu ke Gereja, tidak sesepele kita kehilangan waktu untuk hobi-hobi kita seperti main billiard, melukis atau yang lainnya…Masalahnya lebih pada terancam hilangnya kebahagiaan.
Dunia kerja beserta segala kompeksitas tuntutannya, mulai dari efisiensi, efektivitas, akuntabilitas hingga profesionalisme adalah salah satu tempat di mana kita bisa mewujudkan diri kita. Bahkan sudah terbukti, dengan kerja manusia telah menciptakan dan terus mengembangkan kebudayaannya. Pendek kata, dengan kerja manusia makin menjadi manusiawi, makin hidup sepenuhnya sebagai manusia, menjadi bahagia (to be happy)
Apa yang disebut tadi tidak mutlak terjadi. Kita harus sadar bahwa dalam kerja mau tidak mau kita bertemu dengan logika lainnya yakni to have, memiliki dan terus memiliki. Dalam masyarakat maju efisiensi kerja berbanding lurus dengan upah, tetapi sering berbanding terbalik dengan mutu pribadi kita. Ada orang yang senang dengan banyaknya pekerjaan dan juga jabatan yang bagus, tambah senang lagi karena banyaknya pujian, tapi tetap saja merasa hidup seperti kosong. Pada dasar hatinya yang terdalam seolah-olah ia tidak menemukan apa-apa, bagai orang yang berhari-hari menggali tapi tidak menemukan harta karun yang dicari. Orang-orang seperti ini biasanya mulai jarang senyum, kalaupun senyum toh terasa getir karena sebenarnya berpura-pura bahagia. Petunjuk lain, orang seperti ini selalu mencari-cari cara dan jalan supaya orang memperhatikan dan mencintainya seolah-olah keberartian terlalu bergantung pada semua pujian dan tepuk tangan orang. Lebih lanjut orang seperti ini kemudian akan sering tampil sempurna, selalu tidak tenang dan tidak puas; tidur tidak pulas karena masih membawa impian kesempurnaan yang harus segera diwujudkan esok hari.
Saya masih ingat mang Ucup, petugas sampah di RT 12 Cempaka Putih yang sudah belasan tahun menekuni pekerjaannya. Ketika saya terjaga pagi-pagi buta, bunyi sapu sudah terdengar mengibas-ngibas jalanan kota yang masih sepi. Sekali dua hari saya berjumpa dengannya. Wajah dan badannya kotor, tapi senyum selalu dia perlihatkan. Rasanya mang Ucup jauh lebih bahagia dari ratu pop Marilyn Monroe yang mati bunuh diri di tahun 1962 atau mungkin jauh lebih bahagia dari almarhum Soeharto yang dalam segala kemegahannya tetap mati kesepian di salah satu kamar RSPP.
Pagi ini saya memerhatikan dari dekat sebutir embun pagi yang melekat di helai bunga taman rumah kami, lama sebelum akhirnya jatuh ke tanah dan menghilang. Embun tadi seperti merelakan semua yang dia miliki untuk jatuh ke tanah, bertemu dengan permukaan yang keras dan berdebu sebelum membasahinya.
Sang embun mengingatkan saya akan Yesus tersalib, yang memberi diri sehabis-habisnya. Yesus dan kematiannya di salib adalah embun surgawi yang jatuh memberi kesegaran dan kesuburan bagi dunia di mana selanjutnya kita manusia tumbuh. Embun yang sama sepertinya mengajarkan anda dan saya suatu kearifan untuk hidup bukan dengan logika memiliki tapi dengan mengabdi dan memberi. Kita ingat kata-kata Yesus ini “Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya? (Mat.16:26).
Kita boleh saja memiliki dan mencapai banyak hal berkat pekerjaan dan kerja keras kita, tapi jika kita tidak sungguh mengabdi dan mencintai sesama melalui pekerjaan itu kita sebenarnya lebih sebagai orang yang sukses daripada orang yang bahagia. Jika anda tidak pernah atau tidak lagi membuka kaca jendela mobil anda, lalu tersenyum dengan satpam serta rekan-rekan kantor itu pratanda anda orang yang tengah mencari kebahagiaan. Jika anda seorang atasan dan tidak pernah mau makan di warteg bersama bawahan atau karyawan anda, itu pratanda bahwa memang anda orang yang paling sibuk di dunia dan tengah berusaha memiliki seluruh dunia ini.
Semoga anda tiap hari dalam hidup, dalam pekerjaan tetap mengasihi meski sedikit dan sebentar tapi sekuat dan sepenuh hati seperti embun pagi hari yang kecil dan hampir tak berarti.

Saling mendoakan
Ronald,s.x.


Menyeberangi Lautan Makian

“Sinting kamu!”, antara lain adalah perbendaharan makian yang harus kita terima begitu mengambil pilihan atau melakukan sesuatu yang tidak dikehendaki orang-orang dekat kita. Barangkali kita kehilangan warisan karena menikahi pasangan yang tidak disukai papa dan mama atau dikucilkan dari keluarga dan klan kita. Dalam tugas-tugas manajerial di kantor, bukan barang baru jika langkah, strategi dan kebijakan baru yang coba diambil disambut dengan cemoohan. Apalagi sebagai orang baru, “Sok tahu dan sok bisa” menjadi kosa kata yang harus kita akrabi. Makian-makian seperti sebongkah tahi kerbau yang dilemparkan di muka kita.
Waktu usia saya 9 tahun, saya terkejut melihat papa yang pulang rumah dengan muka memar dan kacamata yang retak. Dari mama saya dengar, ternyata papa baru saja dipukul rekannya karena membongkar pelecehan yang terjadi di sekolah asuhannya.
Mutasi,pengurangan tunjangan, bahkan pemecatan adalah ancaman yang menunggu di depan mata sewaktu kita memilih untuk memperjuangkan apa yang benar, memperbaiki kekeliruan dan menegur yang salah. Tidak seorangpun menyukai itu. Kita umumnya lebih suka mendapat tepuk tangan, kocek yang selalu penuh, warisan banyak serta posisi yang enak dengan menjadi orang patuh dan menjadi orang yang diam di hadapan ketidakberesan.
Yesus disebut ‘tidak waras’ bahkan oleh keluarganya sendiri, karena dia memilih mencintai dan mewartakan kebenaran Injil. Bahkan dia dicap ‘kerasukan setan oleh orang-orang sebangsanya karena pilihannya itu. (Markus. 4:20-31) Duduk makan dengan orang berdosa, bergaul dekat dengan pemungut cukai dan pelacur pasti menuai gossip dan bisik-bisik di mana-mana. Tentu ini menyesakkan hati. Akan tetapi, Yesus sepenuhnya sadar dengan semua resiko itu. Dia menanggungnya. Bahkan sampai Ia mati di salib, dia ditinggalkan hampir semua orang-orang dekatnya, yakni para murid.
Untuk hidup sepenuhnya, kita mesti seperti Yesus, menyeberangi arus makian dan bisik-bisik karena mencintai kebenaran. Menjadi sukses dan berhasil pasti perlu, tapi lebih baik lagi jika kita hidup sepenuhnya, yakni dengan menjadi pecinta dan pelaku kebenaran. Mencintai kebenaran bagaikan mendaki ke puncak gunung; makin naik ke atas kita makin merasa sendiri, kuatir, takut jangan-jangan akan jatuh. Akan tetapi, segera sesudah sampai di puncak kita mengalami kebebasan yang paling penuh….berdiri memandang ke bawah dengan leluasa.
Semoga anda tidak pernah kapok untuk mencoba hal-hal baru di lingkungan anda, menjadi kritis dan berpandangan jauh ke depan meski harus banyak dicaci maki. Kelak ketika anda berhasil membuktikan pilihan anda, makian-makian tadi berganti menjadi samudera senyuman dan penerimaan, lengkap dengan permintaan maaf orang banyak.
“Kalau anda belum pernah dimaki, ada dua kemungkinan. Satu, anda adalah orang yang paling penakut di dunia ini. Kedua, anda sebenarnya sudah dimaki, tapi karena sudah membuktikan pilihan anda, anda tidak dimaki lagi. Maka anda orang yang paling berani di dunia ini.”(RFT)

Salam,

Ronald,s.x.


Perempuan habis melahirkan, lebih kuat bercinta…

Itu sebuah grafiti yang tertulis dengan tinta merah di atas lantai ruang pameran Taman Budaya Yogyakarta…Entah kesan apa gerangan yang dimiliki sang seniman hingga mengguratkan tulisan penuh tafsir itu? Cukup lama saya berdiri sambil memandang dan menebak-nebak kira-kira apa maksud pernyataan itu. Mungkinkah pesannya tidak lain mau mengatakan sesuatu apa adanya, perempuan kalau melahirkan biasanya lebih kuat bercinta? Benarkah itu pengalaman sang seniman? Perempuan atau laki-lakikah dia? Saya tidak ingat lagi pertanyaan-pertanyaan lainnya saat itu….Barangkali perempuan yang membaca graffiti tadi tidak semuanya sepakat dengan apa yang ditulis. Yang pasti si penulis punya pengalaman tentang atau dengan perempuan, setidak-tidaknya dengan perempuan yang melahirkan
Jujur saja, memperhatikan tulisan tadi saya langsung membayangkan mama saya, seorang perempuan yang mengandung 7 kali dan melahirkan 5 kali dan saya satu dari kelima orang yang dilahirkan itu..
Mama pernah cerita bagaimana sakitnya melahirkan. Seperti apa rasanya tidak seluruhnya ia ingat justru karena saking gembiranya melihat saya dan saudara-saudara saya lahir selamat. Pengalaman yang sama juga pernah disampaikan seorang sahabat. Kegembiraan melihat buah hatinya yang lahir sehat menggantikan seluruh pengalaman sakit melahirkan itu…
Maka pengalaman melahirkan justru menjadi pernyataan komitmen si ibu untuk mencintai si ‘buah cinta’, buah hubungan dengan sang suami. Boleh-boleh saja suami merasakan bahwa pelan-pelan perhatian istri padanya mulai berkurang karena harus merawat bayi..Tapi, jauh lebih dari itu, bayi yang lahir seharusnya mengundang suami pun untuk memberi perhatian dan cinta yang lebih besar pada yang lain. Di sini kita langsung bersentuhan dengan salah satu pesan pokok perkawinan: yakni kelahiran anak. Tujuan perkawinan tidak pernah berhenti pada kesejahteraan antara suami dan istri. Cinta yang sejati adalah cinta yang berbuah atau menghasilkan buah. Menolak kelahiran bayi dengan sengaja membuat cinta berubah menjadi egoisme interpersonal. Pendek kata, meski suami-istri saling mencintai, tapi dengan tegas menolak kelahiran anak, membuat cinta mereka betapa egoisnya– karena dinikmati berdua. Dengan kelahiran anak, baik suami dan istri saling merelakan diri, cinta dan perhatian bagi pertumbuhan dan perkembangan seorang pribadi baru.
Waktu kecil masih terang bagi saya bahwa mama selalu menjadi tempat nyaman untuk mengungsi ketika papa marah. Saya cukup sering juga memperhatikan bagaimana bayi-bayi kecil ketika didatangi orang yang tidak dikenali segera berlari tertatih-tatih mendapati ibunya untuk berlindung. Dalam rangkulan, pelukan dan momongan ibu we feel at home; hiding close to her womb makes us safe.
Setelah melahirkan, ibu saya makin semangat bekerja, justru karena dia tahu tanggung jawab pun bertambah. Mencintai bukan hanya perkara lima kaleng susu Dancow yang selalu tersedia setiap pagi di meja, bukan sebatas lima liter nasi yang ditanak setiap hari; tentu bukan pula hanya dengan mainan dan uang yang memanjakan…tapi kehadiran, perhatian, kesabaran dan tentu saja sakit hati melihat anak yang kepalang bandel adalah pernyataan cinta yang sesungguhnya
Banyak hal yang harus direlakan justru setelah melahirkan. Waktu tidur mungkin anda terganggu justru karena pipis bayi tengah malam membangunkan anda atau si ibu; mencuci popok yang kotor bisa saja menghilangkan kesempatan untuk berdandan lebih cantik dan anggun setiap hari. Mengantar dan menemani si kecil ke Taman Kanak-Kanak tentu menunda niat kita untuk sesegera mungkin berkarir menghasilkan duit dan mendapat jabatan lebih tinggi…Masih banyak lagi daftar hal yang harus direlakan seorang perempuan begitu dia habis melahirkan…Anda bisa menambahkan sendiri seturut pengalaman anda. Saya kadang berpikir, mungkin inilah sebabnya kenapa cukup banyak anak muda sekarang ini, di Eropa khususnya, yang memilih married tapi tidak pingin punya anak. “Child is disturbing thing!”…Sudah sangat jelas maksudnya bukan?
Dan akhirnya mengingat-ingat lagi tulisan tadi saya pun merenungkan kerahiman Allah. Kita selalu menyebut Dia mahakuasa dan maharahim, saking seringnya sampai cenderung lupa merasakan kedalaman artinya. Saya sangat yakin kata ‘kerahaman’ atau ‘maha rahim’ yang kita pakai untuk mengungkapkan pengalaman kita akan Allah berasal dari pengalaman kita akan cinta ibu yang memelihara kita dalam rahimnya selama 9 bulan lebih dan kurang. Tidak bisa kita ingat bagaimana pengalaman di rahim ibu itu. Hanya ibu yang tahu bagaimana ia mengandung kita. Demikian pun dengan pengalaman akan Allah. Kita tidak tahu bagaimana persisnya kita terlindung dan terjamin, tapi Dia jauh lebih tahu bagaimana Dia mencintai dan memelihara kita. Allah memilih untuk mencintai meski tidak disadari atau bahkan ditolak oleh manusia, samahalnya dengan ibu yang de facto mencintai dengan mengandung meski sadar bahwa anaknya kelak tidak persis ingat bagamana pengalaman ‘dalam kandungan’ itu…
Akhirnya dengan merenungkan semuanya ini, saya berterima kasih pada Tuhan yang menciptakan perempuan dan memberikan ibu bagiku. Dari ibu saya sungguh belajar bagaimana mencintai dan akhirnya mengalami Allah dalam hidup saya. Maka tanpa harus menghapus tulisan yang ada di grafiti tadi, saya memilih untuk menulis demikian: perempuan, habis melahirkan lebih kuat mencintai. Betapa rindunya saya berjumpa ibu dan mencium rahimnya yang melahirkanku bagi dunia..Semoga kerinduan yang sama menjadi milik anda!

Salam,
Ronald,s.x.

Bila Tuhan Mendengkur…

Hari ini seorang anak yang saya kenal mati terjatuh dari lantai rumah ibu asuhnya. Seminggu sebelumnya saya mengunjungi dia. Sebelas tahun adalah usia yang terlalu muda untuk mati. Saat saya menuliskan ini, kedua orangtua sedang dalam perjalanan menemui buah hati yang menjadi harapan mereka itu. Bisa dibayangkan bagaimana perasaan mereka…
Seorang rekan yang punya toko barang-barang elektronik pertengahan tahun lalu mengalami musibah: seluruh tokonya di jalan Oerip Sumoharjo Yogyakarta ludes dilalap api. Untung dia dan keluarga sedang berada di luar rumah…
Hampir setiap kita mengalami peristiwa di mana kita merasa hidup kita terpecah-pecah bahkan sampai merasa seperti ditinggalkan Tuhan. “Padahal sudah saya jalani semua novena!”, demikian kata seorang teman yang selalu heran kenapa hubungan dia dengan beberapa pacarnya sudah tiga kali berakhir di tengah jalan karena hal yang amat sepele..
Saya masih ingat pemberitaan tahun 2005 tentang Jepang yang dinilai sebagai negara dengan tingkat angka bunuh diri paling besar di dunia, 30 ribua-an per tahun. Bunuh diri sering sekali menjadi jalan pintas bagi orang-orang yang merasa memang hidup tidak punya arti lagi.
Penderitaan orang-orang tak berdosa bisa langsung membuat kita bertanya: apa Tuhan memang tidak mau peduli atau Dia memang tidak ada sama sekali? Doa-doa dan sembah bakti jumatan atau mingguan seperti tidak pernah dijawab. Kalau Tuhan ada, kenapa penderitaan tetap harus ada, dan kenapa saya atau keluarga saya yang menanggungnya? Kita bisa juga bertanya, kenapa sih orang-orang jahat dan kejahatan tidak pernah habis-habisnya? Apakah Tuhan tidak punya pekerjaan lain selain menonton penderitaan kita? Dalam pengalaman penderitaan, kehilangan dan kegagalan total, hidup bagaikan runtuh…tidak punya makna lagi. Seorang pujangga dalam kitab Mazmur dengan lirih memberontak begini: ""Bangunlah, mengapa Engkau tidur ya Tuhan? Bangkitlah! Jangan membuang kami terus-menerus! Mengapa Engkau menyembunyikan wajah-Mu? Mengapa tak Kau hiraukan penindasan dan himpitan yang menimpa kami?" (Mzm.44:14-15)
Kisah Yesus menghardik badai tentu pernah anda baca atau dengar(Markus 4:35-41). Saat badai mengombang-ambingkan perahu dan menciut nyali para murid, Yesus sedang lelap tertidur. Tak heran jika mereka berteriak: “ Tuhan, apakah engkau tidak peduli kita binasa?” Rasanya para murid mengatakan apa yang juga kita rasakan ketika penderitaan dan kegagalan seolah-olah mencabut seluruh keyakinan kita bahwa hidup ini pantas dilanjutkan, apakah doa tetap terus kita panjatkan kalau-kalau memang rasanya kita mendapati Tuhan seperti sedang pulas tertidur, mendengkur lagi…
Yah…memilih untuk beriman tidak sebanding dengan kepercayaan bahwa Tuhan ada. Kisah angin ribut yang dihardik sebenarnya mau mengajarkan kearifan ini: memilih untuk beriman bagaikan mempercayakan diri pada Allah yang seolah-olah tidur, diam, bisu meski faktanya sama sekali lain. Seruan para murid yang ketakutan betapapun rapuhnya sudah merupakan pernyataan kesadaran bahwa Tuhan adalah pegangan paling aman dalam hidup kita. Akan tetapi pegagan itu sering menjadi pilihan terakhir, ketika kita betul-betul tidak bisa lagi menghadapi atau memahami masalah kita. Kasihan betul Tuhan…Dia yang sebenarnya sudah lama beserta kita, baru disadari kehadirannya saat-saat akhir. Pantaslah jika dia menegur murid-murid: “mengapa kamu tidak percaya?”
Tuhan mungkin memang tengah tidur. Tapi itu bukan soalnya. Masalahnya adalah Tuhan memilih tidur karena kita tidak mau mendengarkan Dia lagi; atau Dia telah lama hadir tapi kita tidak terlalu mempedulikannya. Bagi kita sama saja jika Dia ada dan Dia tidak ada, sebuah sikap yang kadang disebut agnostik; kita tidak ingin Dia campur tangan dalam hidup kita. Saya bebas melakukan apa saja dan apa pun yang saya lakukan bukan urusan Tuhan.
Kalau Tuhan memang tengah tidur memberi kemungkinan lain. Dia justru pada saat itu meminta kita untuk membuat keputusan yang penting, yakni tidak putus asa menghadapi penderitaan dan kegagalan sebab Dia menjamin kita bahkan ikut menderita bersama kita. Dia pun meminta kita untuk saling menguatkan. Dan saya yakin inilah yang diminta Tuhan bagiku saat mendengar kabar kematian anak yang saya kunjungi itu. Hari ini kami mendoakannya secara khusus.
Tuhan tidak pernah membiarkan apalagi merencanakan penderitaan bagi manusia. Sungguh, janganlah percaya pada allah macam ini! Lalu penderitaan dari mana? Tentu saja dari manusia sendiri karena pemutlakan kebebasannya. Dari situ lahir ketamakan, kuasa, nafsu, senjata, perang dan kehancuran manusia yang lain. Bahkan alam pun ikut menanggung penderitaan yang sama..Tuhan lebih tepat, menderita bersama kita.
Kalau Tuhan mendengkur begitu pulasnya, itu pratanda bahwa Dia sungguh mempercayai kita untuk hidup dengan anugerah kebebasan yang sejati. Dia gembira bahwa kita bisa hidup seperti Dia, terus membangun dunia ini dengan mencintai dan melayani tanpa syarat. Anda hari ini dipanggil menjadi manusia-manusia penyembuh yang membawa pengharapan bagi begitu banyak orang yang sungguh membutuhkan perhatian dan cinta.

Saling menguatkan dan mendoakan!

Ronald,s.x.


Bukan Barang Biasa: tentang Kesepian Kita

Biasanya mata kita sulit terpejam meski selimut sudah membalut seluruh badan usai merayakan pesta kemenangan, melewati weekend atau liburan panjang yang mengasyikkan. Orang-orang yang dijumpai saat pesta seperti masih lalu lalang di depan mata. Kenangan kekraban dan kehangatan bersama orang-orang dekat & yang paling dicintai seperti tak rela membiarkan kita langsung terlelap.
Dan setelah semuanya itu, besok pagi kita kembali pada yang rutin, yang sudah terjadwal rapi di meja kantor kita. Kita kembali menghadapi atasan yang menyebalkan, rekan yang judes pedes; kembali bergulat dengan angka-angka jutaan supaya tidak tekor dan dituduh mark up. Juga duduk lagi memelototi komputer dan tumpukan buku untuk menyelesaikan paper atau skripsi..
Kembali ke pada yang biasa seringkali tidak diharapkan. Sambil kerja, mata selalu tidak tenang memperhatikan jam di tangan, pingin supaya cepat pulang…yang biasa terasa lebih sebagai beban ketimbang kesempatan. Yang biasa jauh lebih menakutkan ketimbang yang luar biasa…Misalnya setiap Senin kebanyakan kita tetap merindukan di- hallo/ Rasanya belum focused pada pekerjaan jika belum di-sms atau disapa selamat pagi oleh atasan; serasa ‘neraka’ ketika sadar ternyata masih banyak yang harus dikerjakan. Yang biasa akhirnya jauh lebih menakutkan daripada yang luarbiasa, yang penuh semarak dan pesta pada minggu dan tanggal-tanggal merah. Sebab di situ kita acapkali bertemu dengan kesepian. Lebih sepi lagi, ketika dalam rutinitas itu kita mendapati diri sebagai orang yang paling gagal. Pujian yang dinanti-nanti tidak kunjung datang dan cinta seperti tidak pernah berbalas. Dan hidup kita seperti kota mati…Meninggalkan kantor sebelum jam istirahat bisa saja sering kita lakukan justru ketika kita benar-benar mengalami kebosanan. Kita merasa seperti terdampar di sebuah tempat yang tidak pernah kita inginkan…Maka kita, dengan sering membolos misalnya, mau menjadikan Senen atau Rabu sebagai akhir pekan. Kita tidak tahan sepi dan menolak sendiri…
Gereja tidak salah, setelah semarak Natal yang masanya berakhir hingga pesta pembabtisan Tuhan (minggu barusan), menyediakan kita sebuah masa lain: masa biasa. Apa maksudnya masa biasa? Kita baru bisa menemukan jawabannya dengan mengikuti pesan Injil yang menjadi teman seperjalanan selama masa biasa ini yakni Injil Markus. Salah satu perikop yang penting adalah kisah panggilan murid-murid pertama (Markus 1:16-20), Simon dan Andreas serta Yakobus dan Yohanes. Mereka sedang bekerja seperti biasa, sebagai nelayan ketika dipanggil untuk mengikuti-Nya: “Mari ikuti Aku!”…
Panggilan yang sama diperuntukkan pada kita setiap hari dalam hal-hal yang biasa untuk menjadi seperti Dia yakni tak berhenti mencintai. Kita mesti yakin pada kebenaran bahwa kita dijamin dan dicintai tanpa syarat oleh-Nya. Karena alasan itulah dalam pekerjaan yang bisa selalu akan membosankan, kita dipanggil untuk terus mencipta, terus mencinta. Hidup kita sama sekali tidak pernah bergantung pada belasan SMS yang memastikan bahwa pacar kita tidak meninggalkan kita atau dering telefon teman bahwa akhir pekan mendatang akan ada pesta yang tak kalah hebatnya dengan minggu kemaren. Dalam masa biasa, kita pantas bersyukur atas panggilan Tuhan untuk mengubah dunia sekeliling kita dengan tetap bersemangat, penuh hasrat dan cinta menekuni pekerjaan kita. Sebab Tuhan membuat segala sesuatu indah pada waktunya. Masa biasa adalah masa indah jika dihayati dengan iman seperti ini.
Hijau adalah warna khas untuk liturgi hari biasa. Warna ini sepertinya tidak menarik. Akan tetapi, hijau, bagi saya pribadi mengingatkan kita akan masa kesuburan; ketika daun dan tanaman tumbuh menghijau. Di hari biasa yang mungkin akan bisa membosankan, marilah kita terus tumbuh subur, terus mencintai dan memberi. Maka yang biasa bukanlah barang biasa, tetapi ruarrrrrrrrrrrrrrr biasa.
Salam
Ronald,s.x.


Seperti yang Kau minta

Menjelang kelahiran adik-adik saya, saya masih ingat bagaimana papa dan mama menyiapkan banyak hal yang perlu, yang nanti dibutuhkan saat kelahiran tiba. Ada lusinan popok, bedak, baju dan celana, dot dan ah..selebihnya tidak saya ingat lagi. Perlakuan yang sama tentu saya alami juga menjelang kelahiran saya…. Jauh sebelum saya memahami, menginginkan dan meminta, papa dan mama tahu apa yang paling saya butuhkan. Saat itu tentu tidak pernah saya bayangkan bagaimana papa -dalam kesibukannya - mencari dan mengusahakan semua kebutuhan tadi…Tentu ketika lahir hingga masa balita, kita tidak bisa protes kenapa papa/ibu kita membelikan popok X dan bukan popok Y, kenapa bedak Herocin dan bukan bedak lain.. Juga betapa repotnya ibu kita bangun tengah malam membereskan tempat tidur yang basah karena pipis kita, mengeringkan lalu mengganti dengan popok yang baru agar kita kembali tidur nyaman…
Setelah kita mulai mengerti dan mengenali kebutuhan kita, kita menyatakannya. Secara langsung kita memintanya ketika kita tidak bisa memenuhi sendiri kebutuhan itu. Kalau pun tidak mengatakannya, minimal tubuh, gerak-gerik, sikap dan perilaku selalu mengatakannya. Dan kita ingin agar orang lain, terutama orang-orang dekat kita, memahaminya.
Uang jajan, tas kulit, sepatu Cats atau kaos Bruce Lee, boneka Barbie, sepatu Harry Potter, kuliah di Binus atau UPH, komputer baru, izin apel di rumah pacar, pinjam motor papa (untuk trek-trekkan - kalau yang ini mah gak dibilangin…), sebidang tanah sebagai warisan dan masih banyak lagi mungkin bisa masuk dalam daftar-daftar permintaan yang pernah kita buat hingga sekarang ini.
Hidup kita bagaikan sebuah daftar panjang permintaan. Seburuk dan sebaik apa pun permintaan itu, ada sebuah garis merah yang menyatukannya…kita ingin bahagia.We choose to be happy. Kebahagian adalah dasar dan tujuan dari semua permintaan yang kita buat. betapapun tidak pernah secara langsung kita sadari atau kita pahami betul. Hal yang membuat kita semua sama ialah ini: meminta sesuai yang kita kehendaki, menginginkan kebahagiaan sesuai yang kita pahami. Dalam doa juga kita meminta..
Lalu apakah meminta itu salah? Bukankah kepada orang sakit Yesus menanyakan apa yang mereka minta? Orang yang buta meminta agar ia melek, yang kusta memohon supaya menjadi tahir; ibu Yakobus dan Andreas meminta agar Yesus memberi kursi kerajaan kepada kedua anaknya itu…
Membaca apa yang ditulis rasul Yohanes meyakinkan kita bahwa meminta tidak pernah salah. Masalahnya lebih pada pada apa yang kita minta. Ia menulis sbb.:
Allah mengabulkan doa kita, jikalau kita meminta sesuatu kepada-Nya menurut kehendak-Nya. Dan jikalau kita tahu, bahwa Ia mengabulkan apa saja yang kita minta, maka kita juga tahu, bahwa kita telah memperoleh segala sesuatu yang telah kita minta kepada-Nya.(I Yoh.5:14-15)
Apakah itu berarti jika kita meminta seturut kehendak dan kebutuhan kita, doa kita tidak dikabulkan? Lalu kenapa orang buta dan orang tuli disembuhkan Tuhan Yesus? Kenapa permohonan saya untuk lulus tes pegawai negeri dikabulkan?
Bukan…bukan itu maksudnya. Bahkan, jauh melebih orang tua kita, Tuhan mengetahui apa yang kita butuhkan. Yesus sendiri pernah bilang, betapa pun jahatnya seseorang, ia tidak pernah memberikan kalajengking ketika anaknya minta ikan, atau ular ketika anaknya minta roti. Jika yang jahat saja tahu memberi yang baik bagi anak-anaknya, apalagi Allah di surga.
Maksud Yohanes jelas..Doa tidak pernah seperti shoping di toko. Kita dapat barang yang kita mau setelah ditukar dengan duit kita. Berdoa tidak identik dengan ATM yang setiap kali dimasukkan ke mesinnya akan segera mengeluarkan duit yang kita butuhkan…Berdoa selalu merupakan hubungan dan perjumpaan dengan seorang pribadi. Perjumpaan itu didorong oleh rasa percaya bahwa kita sungguh dijamin dan dicintai. Maka dalam berdoa kita mesti berpasrah…Pasrah tidak sama dengan menyerah tapi ungkapan paling tinggi dari iman: Tuhan..saya percaya kamulah yang paling tahu apa yang saya butuhkan dan paling tahu apa yang terbaik bagi saya…Kepasrahan adalah keberanian untuk memberi diri dicintai…
Apa yang ditulis Yohanes sungguh penting. Makin hari kita mesti bertumbuh menjadi orang beriman yang otentik, yang terus menyerupai Yesus. Kita perlu meminta, tapi jangan berhenti meminta hanya apa yang kita butuhkan. Kita harus lebih dari itu, mesti go to the extra mile..meminta seperti yang Dikehendaki Tuhan. Apakah itu?
Semuanya ada dalam doa yang diwariskan Kristus pada kita.
Dimuliakanlah nama-Mu….Tuhan kalau boleh hari ini aku minta untuk sanggup memuliakan engkau dengan sungguh setia menyelesaikan tugas kantorkan.
Datanglah kerajaan-Mu…..Bapa… kalau kemarin saya mendamprat bawahan saya karena tidak serius bekerja, biarlah pagi ini saya tetap menyambutnya dengan senyum.
Biar surgamu dia rasakan juga sekarang ini, ketika aku tetap mendukungya…
Yesus adalah jaminan kita. Dia yang pertama merasakan betul betapa susahnya meminta sesuai kehendak Bapa…Dia pingin lari dari Zaitun dan minta supaya dijauhkan dari salib, tapi Dia memilih meminta melaksanakan kehendak Bapa…setia mencintai sampai akhir..Di sinilah kekristenan kita mencapai wujudnya yang paling otentik. Setiap hari itulah yang saya mohonkan, supaya setia…Saya mendoakannya juga bagi anda. Dan mudah-mudahan kita berhenti bahkan tidak pernah lagi berdoa Bapa Kami tiga sampai empat kali untuk mengobati sakit perut atau menghilangkan sakit kepala. Ada promag atau Antangin untuk itu. Doa Bapa Kami terlampau tidak pantas untuk itu.
Saling mendoakan

Ronald,s.x.

Cinta di saku celana kita…!
Catatan tentang materialisme

Dua tahun silam, seorang kawan dengan sedih mengakhiri hubungannya dengan sang pacar. Teman saya ini seorang scriptwriter di sebuah perusahan televisi swasta. Hubungan yang sudah dibangun cukup lama harus kandas gara-gara dia hanya datang “jalan kaki” menyambangi pacarnya yang setahun sebelumnya ternyata sudah menyusul dia ke Jakarta.
“Ketika melihat saya datang, dia langsung memeriksa kalau-kalau saya membawa motor atau mobil, sebab dia tahu saya punya pekerjaan bagus di sini. Air mukanya berubah karena saya datang tetap seperti pertama kali saya mengenalnya, tanpa apa-apa…, Dia tidak tahu bahwa sebagai scriptwriter saya cukup sering kerja lembur hingga pagi hari untuk kejar tayang. Meski malam itu adalah pertemuan terakhir kami, saya tetap berusaha mengontak dia. Tidak ada balasan, tidak ada jawaban. Hubungan kami seolah-olah tidak pernah ada.. Saya makin yakin pacar saya terlalu banyak menuntut. Tidak sampai hati saya menuduhnya materialis. ..Hubungan kami berakhir begitu saja, tanpa konsensus tapi masing-masing seperti merasa tidak saling cocok…
Pengakuan teman saya ini menyadarkan saya bahwa sebagian besar hubungan antar manusia, hubungan antar pribadi dewasa ini ditentukan oleh materi. Romantisme cinta Syamsul Bahri dan Siti Nurbaya hampir tidak punya tempatnya lagi dalam perkawinan yang paling realitis zaman ini. “Not only love, but also sex and Money…
Memang tiga hal itu sangat signifikan dalam perkawinan. Sebab dengan perkawinan, terbentuklah keluarga/family. Dan keluarga meski dibangun di atas fondasi kasih suami-istri, tapi juga memerlukan penyangga yang namanya ekonomi, materi, uang…Bahkan ekonomi secara positif adalah bagian dari tanggung jawab. Dan tanggung jawab adalah salah satu pernyataan konkret dari Cinta, di samping komitmen untuk memberi diri tanpa pamrih kepada pasangan. Dan merupakan langkah terpuji jika orang mempersiapkan perkawinan mereka dengan baik, termasuk perhitungan ekonomi. Dengan pendapatan mereka kelak bisa menentukan bagaimana memiliki dan mendidik anak misalnya… Pendek kata cinta saja, juga tidak cukup.

Akan tetapi, tak bisa kita tutupi kenyataan bahwa dunia sekarang ini telah menggeser cinta dari posisinya yang paling penting ke tepian yang paling relatif (bisa perlu, dan bisa tidak). Dan materi adalah penggantinya. “Kita baru bisa tidur seranjang dan hidup serumah kalau ‘ account mu’ di Bank sama dengan ‘account yang kupunya’”, kira-kira begitulah parafrase dari logika materialisme yang tengah memasuki ideal-ideal hubungan yang telah lama kita yakini.
Berharga dan berartinya kita bergantung dari seberapa banyak materi yang kita punya. Pernyatan yang kurang lebih sama dengan ungkapan tadi yakni: “Kalau kamu bisa menjamin hidup saya…kamu bisa berhak atas tubuh saya!” Lalu cinta? Yah…dia akan berkembang alamiah…Maka sejajar dengan itu banyak bermunculan agen pengatur perkawinan antara orang indie dengan ekspatriat. Dulu saya pikir, yang terakhir tadi hanya ‘cerita’, sampai suatu hari saya dikejutkan oleh pertanyaan iseng seorang mahasiswi teman saya: “ Frat..punya teman orang bule gak..? Kenalin dong…!”

Dan makna perkawinan sedang terancam. Bukan cinta yang menjadi tujuan dan dasar hidup berkeluarga, tapi security. Rasa amanlah yang dicari. Uang memberi jauh lebih banyak kepastian rasa aman itu daripada cinta. Dan dengan uang, memang akses terhadap ‘tubuh yang lain’ mudah sekali didapatkan…lalu cinta, yah..ditaruh di saku celana untuk selanjutnya dilupakan atau baru diingat setelah celana sedang dicuci…Bahkan lebih radikal lagi, materialisme semacam ini diungkapkan dalam pilihan untuk tidak mau berkeluarga. “Kita boleh kawin dan saling mencintai, tapi tidak untuk baby!” Artinya, rasa aman dan kenikmatan jasmani-material cukuplah dinikmati antara kedua pasangan. Di sini cinta tidak lain adalah materialisme belaka, pemujaan atas materi.
Hari ini kita memperingati pesta Epifani, pesta penampakan Tuhan. Tiga majus dari timur datang dari negeri-negeri mereka yang jauh untuk menyembah Almasih yang lahir di Betlehem. Perjalanan mereka dituntun oleh sebuah bintang yang persis menghentikan mereka di sebuah gubuk sederhana, tempat Yesus dibaringkan di sebuah lampin ditemani kedua orangtunya, Yusuf dan Maria. Merayakan epifani mengajak kita memikirkan ini: “bagiamana mungkin Allah yang mahakuasa mau merendahkan dirinya dan menjadi manusia dalam diri Yesus?” Inilah cinta…Dan peristiwa epifani, hemat saya bukan berakhir di situ saja tapi sepanjang hidup Yesus hingga Dia disalibkan. Pada salib, kita melihat Allah yang sungguh mencintai dan mengasihi manusia tanpa syarat sampai mati sebagai orang hukuman, padahal Dia tidak berdosa.
Dan bagi kita, epifani adalah undangan untuk memperbaharui komitmen kita untuk mencintai sebagaimana Allah mencintai kita dalam hidup berkeluarga, dalam persahabatan serta bentuk hubungan kita lainnya. Dengan epifani kita diajak untuk menempatkan cinta dan pemberian diri sebagai pilihan dasar kita, bukan materi, meski itu tetap penting. Dan akhirnya, seperti para majus yang meletakkan mur, emas dan dupa di depan kaki Yesus sebagai persembahan, lalu pulang melalui ‘jalan lain’, marilah kita sekali lagi menjadikan Tuhan yang adalah kasih sebagai dasar hubungan-hubungan kita. Mencintai adalah “jalan lain”, jalan yang sekaligus sempit di tengah sesaknya pilihan untuk mengagungkan materi. Mari sekali dan untuk selamanya membuat cinta menjadi pemenang. Saya berdoa bagi anda, keluarga termasuk cita-cita anda untuk membangun hidup berkeluarga.

Salam,

Ronald,s.x.


KUPU-KUPU JANGAN PERGI…!

Sekarang hampir setiap hari saya menemukan kupu-kupu yang bermain-main di depan rumah saya, Pandega Asih I/8 – Yogyakarta; sesuatu yang tidak selalu bahkan jarang saya alami ketika masih tinggal dalam kepungan rumah-rumah dan gedung-gedung tinggi Jakarta Pusat, serta suara-suara kendaraan yang sudah meraung-raung sejak pukul 03.00 pagi.
Taman yang asri serta bunga-bunga cantik yang selalu kami rawat dengan baik mungkin sekali jadi daya tarik bagi kupu-kupu itu. Warna tubuh mereka cantik dan kompleks. Giorgio Armani atau Christian Dior perlu banyak waktu untuk menyaingi keanggunan mereka.
Andai kisah nabi Nuh itu 100 % historis dan andai dia tidak berhasil menyelamatkan tujuh pasang untuk setiap spesies-spesies binatang, tentu kupu-kupu ini tidak lagi saya dan anda kenali. Dan ketika hujan dan angin hari-hari ini sedang mengancam kota-kota kita, saya sungguh memikirkan Nuh, dan juga kupu-kupu tadi…
Terlalu gampang melihat kisah air bah yang diceritakan dalam kitab kejadian itu sebagai sebuah laporan sejarah, sebab itu tidak akan banyak menolong kita. Saya lebih memilih untuk melihatnya sebagai refleksi orang beriman (penulis kitab Kejadian) atas pengalaman kehancuran.. Dan kehancuran itulah yang sungguh saya percayai benar-benar terjadi, meski detail-detailnya tidak harus seperti yang diceritakan. Lagi pula sebagai kisah, air bah itu penuh dengan simbol dan metafor.
Sulit sekali menerima – jika kita mempercayai seluruh detail-detail dalam kisah itu – bagaimana Nuh harus menangkap masing-masing tujuh pasang untuk setiap spesies binatang hanya dalam tujuh hari? Tambahan lagi, dia harus menyediakan ruangan ‘khusus’ untuk setiap spesies itu? Saya tersenyum ngeri dan geli memikirkan betapa repotnya Nuh menangkap binatang berbisa dan buas atau binatang-binatang kecil seperti belalang, cicak dan juga kupu-kupu dengan begitu banyak variasinya… Kalau itu benar, saya yakin, Nuh adalah orang yang pertama dan paling banyak mengumpat dan memaki-maki (Tuhan). Karena sulit, saya memilih untuk tidak membaca kisah air bah seperti sebuah berita pagi hari sebagaimana yang dibuat KOMPAS atau Kedaulatan Rakyat.
Rasanya lebih pas memikirkan bahwa Nuh pada saat itu adalah satu-satunya atau salah satu dari sebagian kecil orang yang masih setia pada Tuhan, yang berkebajikan; sebuah minoritas yang percaya dan memilih bersikap mengandalkan Tuhan ketika orang-orang sebangsa dan sezamannya mengandalkan diri mereka, tidak membutuhkan Tuhan lalu akhirnya merusak sesama dan bahkan alam. Kejadian air bah yang melanda orang-orang Nuh rasanya tidak jauh beda dengan banjir bandang yang mengepung kota-kota kita hari-hari ini.
Pengagungan reason dan freedom lengkap dengan semua pencapaiannya adalah andalan baru manusia modern, anda dan saya. Sebutlah ekonomi dan saudara kandungnya teknologi yang tengah menjadi pegangan kuat hidup kita, negara-negara kita. Hidup bersama kita bangun dengan kriteria-kriteria untung-rugi. Pantas Indonesia sulit berubah jika para politisi dan birokrat kita bersaing seperti pedagang daging sapi.
Di tempat lain anugerah kebebasan tengah nyasar dan salah kaprah menjadi berhala baru. Atas nama kebebasan kita sedang membangun kuil pemujaan baru, apa yang tidak salah disebut oleh Benedictus XVI the kingdom of man. Untuk rugi berbanding lurus dengan kebebasan. Semakin berpunya dan semakin kaya semakin bisa apa saja dan bebas untuk buat apa pun, termasuk merusak alam. Jutaan ton sampah setiap hari muncul dari mall-mall di mana kita menghabiskan uang-uang kita…Kita ambil isinya lalu buang di jalanan. Saya kerap geram melihat, cukup sering dari beberapa mobil Innova, Mercy dan Mercedes, banyak tissue, kemasan Conello, Aqua,dll yang dibuang.. Dan anda tidak perlu heran lagi bahwa cukup banyak orang yang menggantungkan hidup pada semua sampah yang dibuang dari mobil-mobil mewah itu: para pemulung, orang-orang yang selalu kalah dalam pertarungan untung rugi, apalagi kebebasan. Mereka adalah Lazarus-Lazarus baru..

Saudara/i… ini tentu bukan satire atau sebuah lamentasi, tapi hanya renungan sederhana seorang muda yang tengah memandangi kupu-kupu cantik yang tidak mau beranjak ketika ia mendekati mereka. Saya berterima kasih pada Tuhan karena mereka seperti menemukan tempat yang nyaman untuk beristirahat dan bermain-main setelah sekian lama terbang mencari-cari pengungsian…
Saya makin percaya bahwa tidak semua binatang ditangkap dan diselamatkan Nuh. Bahkan lebih banyak lagi yang datang sendiri justru karena mereka menemukan bahwa tempat tinggal Nuh adalah satu-satunya tempat yang paling aman untuk mengungsi setelah tempat-tempat tinggal mereka dirusak manusia. Bahtera yang besar itu bagi saya adalah metafor untuk melukiskan tempat tinggal Nuh yang nyaman. Dan Nuh, sekali lagi, adalah kalau bukan satu-satunya, paling tidak minoritas orang, yang meski hidup juga dengan barter barang, untuk rugi; yang meski punya kebebasan, tapi lebih mengandalkan Tuhan. Karena Tuhan yang diandalkan maka ia menempatkan Tuhan di atas semua pencapaian-pencapaiannya. Karena Tuhan yang lebih dicintai, maka ia hidup terutama dengan kategori yang lain sama sekali yakni mencintai karena dicintai, melayani karena sudah sedemikian besar kasih Allah yang ia terima. Pilihan Nuh adalah pilihan paling pamali untuk orang-orang sezamannya. Tidak salah jika Tuhan memilih dia untuk menyelamatkan alam ciptaan.
Sikap Allah yang menyelamatkan rasanya kontras dengan kisah Air Bah yang seperti memberi kesan bahwa Allah menghendaki kehancuran manusia. Sejatinya, Allah memilih untuk tetap mencitai manusia, bahkan dalam kehancuran yang diciptakan oleh manusia sendiri. Inilah Allah yang diwartakan oleh kisah air bah itu. Dan kisah Nuh, jika kita baca sekarang, adalah kisah kita. Nuh juga representasi setiap orang yang berkehendak baik. Tuhan memilih anda untuk menyelamatkan lingkungan dari pola pikir dan pola laku reason-freedom yang sudah lama mengepung kita habis-habisan. Hiduplah dengan cara pikir dan cara tindak lain: mencintai dan terus memberi, melayani sebagaimana yang diserukan Injil hari ini.

Saya bersyukur pada Tuhan atas kupu-kupu cantik yang gambarnya saya abadikan ini. Dia tidak hanya menghiasi taman-taman kesayangan manusia, tapi juga satpam paling berharga bagi bumi kita. Kupu-kupu punya kepekaan dan sensitivitas yang sangat tinggi terhadap perubahan iklim dan cuaca. Angin puting beliung yang melanda Jepang bisa dirasakan oleh seokor kupu-kupu di Peru sehingga ia terbang dan bermigrasi ke tempat lain (dalam sains, ini disebut butterfly effects). Hanya saja saking sibuknya kita, seruan kupu-kupu tidak lagi kita dengar.
“Tuhan jangan biarkan kupu-kupu ini pergi dariku. Biarlah dia tinggal di taman semua orang yang berkehendak baik. Terbangkan dia ke hati banyak orang supaya memiliki kepekaan seluas kepekaannya”.
Salam,
Ronald,s.x.

Blogger Template by Blogcrowds