Cinta Mati...


CINTA MATI

Dengan sabar setiap Jumat sore, sebuah kursi roda meringsek pelan-pelan melewati jalan yang masih kasar lalu mengikuti konblok yang tersusun rapi di halaman rumah kami. Laki-laki setengah baya itu dituntun seorang wanita berkacamata. Suami-istri ini adalah tetangga yang sering menghadiri ekaristi di tempat kami. Bahkan sore tadi meski gerimis turun, seperti biasa mereka tetap datang berdua …Bapak dan ibu sriyono, begitu mereka sering kusapa.
Setiap kali melihat dan menyambut kedatangan mereka, hati saya selalu terhibur sekaligus bersyukur atas panggilan hidup berkeluarga. Saya jadi ingat papa yang lebih dari 12 tahun lalu terbujur tak berdaya di rumah sakit dan ditemani mama dengan sabar selama seminggu. Tiga hari sebelum ia meninggal, papa tiba-tiba tidak bicara lagi dan mamalah yang paling mengerti apa yang diminta papa saat itu meski tak satu suara pun yang keluar.
Cintalah yang membuat tangan-tangan bu Sriyono tetap kuat memegang kursi roda sang suami. Dan saya yakin cinta pula yang sanggup membuat mama mengerti semua kebutuhan papa di saat dia tidak sanggup lagi mengungkapkannya.
Mama dan tentu saja bu Sriyono mengerti betul apa yang mereka janjikan ketika berhadap-hadapan dengan suami mereka di depan altar yakni berjanji untuk mencintai sehidup semati.
Gereja rasanya sangat tepat mewariskan anjuran Yesus agar hidup perkawinan dibangun tidak hanya atas dasar cinta manusiawi melainkan cinta ilahi. Bahkan hal yang mencirikan perkawinan Katolik terutama adalah perkawinan yang mengungkapkan hubungan kasih Kristus dengan Gereja-Nya, hubungan kasih Allah dengan umat-Nya. Sifat monogam dan tak terceraikan adalah konsekuensinya. Andai perkawinan dan hidup berkeluarga hanya bersandar pada cinta manusiawi, tentu hidup berkeluarga tidak akan bertahan. Kaum hippies atau sesantoni di tahun 60-an yang mengagungkan selebrasi kebebasan percaya bahwa nilai-nilai seperti cinta dan kebaikan itu berasal dari diri manusia sendiri. Pada saat yang sama nilai-nilai itu tidak lagi mutlak karena manusia sendirilah yang bisa menyangkalnya. Affair dalam perkawinan sampai pada keputusan berselingkuh lahir dari kepercayaan ini. Bahkan perkawinan itu sendiri tidak penting; married gak married yang penting kumpul dulu…
Hosea kiranya satu dari antara nabi-nabi Israel yang sedemikian pilu jalan hidupnya. Ia menikahi seorang perempuan sundal, pelacur kawakan. Gomer binti Deblaim namanya. Hosea sedemikian mengasihi istrinya sampai kadang-kadang hampir ‘tidak rasional’. Bayangkan dia masih tetap sang istri mesti ia berulang kali tetap mencari kawan selingkuh…Perkawinan Hosea dipakai untuk menggambarkan hubungan kasih Allah dengan umat-Nya Israel. Allah mencintai umat-Nya itu meski berulang kali Israel berkhianat. Hubungan kasih ini lah yang antara lain menjadi salah satu model bagi hubungan perkawinan Kristen.
Kenapa kita butuh model, kenapa kita butuh pegangan seperti ini? Lagi-lagi kita sebagai istri dan suami tidak pernah bertumbuh jika bermodalkan cinta yang semata manusiawi. Hidup berkeluarga yang otentik akhirnya didasari oleh cinta yang berasal dari luar diri kita, dari luar diri baik suami dan istri yakni Allah sendiri. Benar bahwa lesung pipit lengkap dengan senyuman ramah pasangan anda yang mungkin mula-mula membuat anda jatuh hati lalu mulai mencari-cari perhatian sampai akhirnya sepakat dan jadian. Tetapi bukan melulu romantisme itu yang membuat anda akhirnya tetap at home dengan pasangan anda meski akhirnya setelah 20 tahun berumah tangga anda mendapati sang istri tidak cantik lagi seperti dulu, atau sang suami lumpuh total karena kecelakaan sebagaimana dialami bu Sriyono.
Cinta Allah lah yang sama-sama menjadi daya tarik baik bagi suami maupun istri untuk saling memberi diri tanpa syarat. Panggilan hidup berkeluarga bergerak dari cinta manusiawi (daya tarik masing-masing) ke pada cinta ilahi di mana pribadi Allah sendirilah yang memikat dan mengikat kita. Kebenaran bahwa kita dikasihi Allah tanpa syaratlah yang membuat pengampunan dan penerimaan itu tidak mustahil. Rasanya ungkapan berikut ini pun tepat: Romantic love tends to be blind to the faults.Spiritual love is aware of the limitations. Cinta manusiawi yang cenderung romantis cenderung buta atau masa bodoh dengan kesalahan pasangan. Sikap ini bukanlah ciri penerimaan dan penyambutan yang dewasa. Sementara cinta ilahi membuat kita dengan jujur menerima keterbatasan kita tanpa menghakimi, justru karena kita mengalami bagaimana diampuni Allah secara tanpa syarat. Inilah arti sakramental hubungan perkawinan. Suami dan istri saling menjadi tanda kehadiran Allah, termasuk bagi anak-anak mereka.
Saya tahu mama orang pertama yang hatinya hancur ketika ditinggal mati papa persis pula ketika kami anak-anaknya masih terlalu kecil untuk ditinggalkan. Tapi dia juga orang pertama yang selalu percaya papa tidak mati. Dan dia tetap mencintainya sampai sekarang dalam diri kami. Saya yakin itulah yang diminta papa terakhir kali meski kami tidak pernah mendengarnya…mencintai dia dalam diri kami. Itulah cinta yang tak pernah mati, cinta Allah sendiri yang terus tumbuh sepanjang waktu.
Saya berdoa bagi anda yang terpanggil untuk hidup berkeluarga termasuk mereka yang tengah mempersiapkan diri untuk itu supaya sungguh-sungguh menjadikan kasih Allah sebagai cakrawala yang tak habis-habisnya anda pandangi sehingga juga benar-benar menjadi tanda kehadirannya bagi dunia.

Salam,

Ronald,s.x.

Ah...Maria,ah..!


Ah…Maria.,..Ah! Teman-teman aku menuliskan tanggapanku atas soal kepengataraan Maria yang dilontarkan salah satu kontak kita di multiply ini, teman baikku Yonal-Thailand. Dia menulis demikian:Ronald Tardeli, saya mau minta tolong kamu...coba kamu komentari pendapat dari teman saya yang Kristen ini. Jawaban strategis spt apa yang kira-kira baik diberikan pada dia.. Konteksnya adalah dia mengatakan bahwa Katolik salah dengan menjadikan Maria sbg perantara pada Yesus,karena hal itu tidak terdapat dalam kitab suci (sola scriptura).Sebagai pengikut Kristus, kita menghormati Yusuf dan Maria sama seperti kita menghormati kepada para pelayan Tuhan. Tetapi kita tidak menempatkan Maria lebih tinggi dari Tuhan Yesus dan kita tidak menempatkan Maria sejajar seperti Tuhan Yesus."Dan inilah tanggapan saya….semoga bermanfaat juga bagi anda.Sebelum lebih lanjut menyinggung soal kepengantaran Maria.Marilah kita bertolak dari pemahaman kitab suci. Sebab temanmu mendasarkan penolakannya pada kitab suci. Pemahaman kita terhadap kitab suci nantinya sangat menentukan sikap kita untuk kalau bukan menerima peran kepengantaraan maria, paling tidak toleran dengan pilihan iman orang yang menghormati Maria, bukan langsung nge-judge salah atau tidak benar. Pemahaman orang Kristiani tentang kitab suci berbeda dengan saudara kita muslim. Kitab suci bukan sebuah buku cetak yang langsung turun dari langit dan kita terima. Bukan! Kitab suci itu adalah sabda Allah yang disampaikan kepada orang-orang beriman, melalui pengalaman-pengalaman personal tokoh-tokoh iman seperti Abraham, Ishak, Yakub, dan kemudian bangsa Israel. Warisan iman itu kemudian oleh inspirasi Roh Kudus dipelihara melalui tulisan-tulisan seiring dengan berkembangnya sejarah tertulis. Maksudnya sederhana, agar nilai-nilai dan tradisi iman tidak hilang, melainkan diwariskan terus. Inilah yang dikerjakan oleh para penulis suci baik kitab perjanjian lama, kitab nabi-nabi maupun penulis Perjanjian Baru sendiri.Kisah Injil dan tulisan-tulisan perjanjian baru lainnya bukanlah sama dengan berita Koran KOMPAS yang melaporkan fakta dan data 100%. Injil memang memuat laporan dari para saksi mata yang mengalami Yesus (para murid) tapi juga ditambah dengan refleksi komunitas beriman sendiri tentang pengalaman perjumpaan dengan Yesus. Bahkan mayoritas penulis perjanjian Baru bukanlah saksi mata kehadiran Yesus. Mereka adalah orang-orang Kristen generasi kedua dan ketiga setelah para murid. Dan bukankah kebutuhan untuk menulis Injil muncul dari kenyataan bahwa satu per satu saksi mata hidup Yesus mulai berkurang?Perpaduan antara fakta dan refeksi dalam Injil misalnya kita temukan dalam Injil Matius. Matius menulis Injil untuk komunitas berbahasa Yahudi; Lukas menulis Injil kepada orang-orang dengan bahasa dan kebudayaan Yunani dan masih banyak lagi contoh yang kita bisa ambil.Pendek kata bagi orang Katolik, Kitab suci dan Tradisi ada dua hal berbeda tapi saling terkait. Satu melengkapi yang lain dan satu terjalin dalam yang lainnya. Lain dari itu, kitab suci tidak memuat seluruh kesaksian iman. Injil menulis yang paling pokok, yang paling penting dan ringkas. Itulah artinya kerigma. Maka, jika dalam Injil tidak pernah tertulis Yesus yang tertawa, bukan berarti Yesus tidak pernah ketawa bukan? Yesus yang tertawa tidak terlalu penting untuk ditulis..karena tidak lebih mengesankan daripada fakta bagaimana Yesus mengampuni orang berdosa, duduk makan dengan orang berdosa, menyembuhkan orang sakit, dll.Akhirnya, tidak patut menilai suatu perbuatan dan sikap iman sebagai salah hanya semata-mata karena tidak tercantum dalam kitab suci. Contoh lain kata Tritunggal Maha Kudus tidak tercantum dalam kitab suci. Akan tetapi, itu tidak menjadi alasan untuk menyalahkan iman akan Allah Tritunggal. Yesus sendiri tidak pernah mengatakan kata Tritunggal. Akan tetapi, seluruh pewartaan Yesus mengindikasikan iman akan Allah sebagia Bapa, Allah yang hadir sebagai Putera dan Allah Roh Kudus. Nah sekarang setelah meluruskan arti pemahaman kita tentang kitab suci, kita boleh berbicara tentang Maria dan masalah peran kepengantaraannya. Tidak salah dikatakan kalau Maria hanya wanita biasa, tapi laporan Injil cukup jelas menunjukkan bahwa Maria seorang istimewa. Tuhan memilh dia yang perawan, bukan hanya secara biologis tapi secara rohani-spiritual. Dia dalam usianya yang amat sangat belia membuka seluruh dirinya pada rencana Allah “Aku ini hamba Tuhan, jadilah padaku menurut kehendak-MU”. Dan dia menunjukkan kesetiaannya itu sampai mati. Di salib ketika para murid lari meninggalkan Yesus, Maria tetap berdiri dekat salib. Maria memang manusia biasa yang juga punya perasaan. Ingat bagaimana perasaannya tercabik-cabik ketika tahu anaknya dikejar-kejar dan akhirnya dibunuh? Ingat bagaimana dia menangisi Yesus sepanjang perjalanan memikul salib? Pendek kata, Maria dipilih melahirkan Yesus. Dan logis memikirkan bahwa Tuhan yang memlihnya sudah menyucikan dia. Gereja tidak salah memilih percaya bahwa Maria lepas dari dosa asal…karena Dia yang pertama menerima rencana Allah tanpa syarat dan melahirkan Yesus. Pilihan Maria untuk mengatakan ya pada rencana Allah setotal-totalnya membuat dia sempurna. Maka dia disebut “penuh rahmat; full of grace” sebagaimana Elisabeth menyebutnya “terberkati di antara segala perempuan”.(Matius 1:42).Kesempurnaan Maria yang merupakan rahmat khusus dari Allah membuat dia tidak terkena dosa asal. Dia tidak berdosa. Karena dia dipilih dan karena dia tanpa syarat menerima rencana keselamatan Allah dalam hidupnya, maka Gereja pantas mengimani bahwa dia tidak bernoda asal. Dia dikandung tanpa noda (dogma Pius IX) dan pada saat yang sama merupakan perkandungan tak bernoda. Yang terakhir ini ditegaskan Maria dalam penampakannya di Lourdes. Tradisi Gereja-gereja timur menjuluki Maria sebagai Panagia, artinya suci sempurna, sebab melalui Dialah Allah menjalankan rencana keselamatan, sebuah penciptaan baru (new creation) àbdk. Wahyu 21:5 Maria sering disebut Hawa baru karena ketaatannya. Meski sempurna dia toh tetap membutuhkan keselamatan. Maria mewakili atau merepresentasikan seluruh manusia yang sungguh mendamba pembebasan sejati. “Dengan ya/fiat nya Maria memungkinkan keselamatan menjadi miliknya dan milik seluruh manusia” (St. Ireneus). Dia tak berdosa tapi merupakan orang yang paling rendah hati. Dia sama seperti kita mendambakan keselamatan. Dan keselamatan itu hanya berasal dari Allah, bukan dari kekuatan manusia sendiri. Injil sendiri meninggalkan warisan kebajikan yang penting sehubungan dengan Maria. Dalam Injil maria dihormati sebagai ibu Tuhan. Lihat bagaimana Elisabeth, menyapa Maria “Ibu Tuhanku” sebelum Maria melahirkan Yesus. Atau tengoklah apa yang dikisahkan dalam Injil Yohanes 2:1; 19:25; atau Matius 13:55. Yesus sendiri meminta kita menaruh sikap hormat pada bunda Maria dan mengajak kita meneladan dia. Kata-kata Yesus di salib sangat penting “Inilah Ibumu!”. Dia meminta kita para pengikutnya mengikuti dan mencintai Yesus sebagaimana Maria mengikuti dan mencintainya sampai di salib. Menghormati Maria karenanya tidak pernah berarti mengidentikkannya dengan Yesus, apalagi menggantikan peran Yesus sebagai penyelamat. Sikap percaya pada peran kepengantaraan Maria justru lahir dari kenyataan bahwa dialah model kesempurnaan kemuridan. Karena kita tahu dia sungguh-sungguh mengikuti Yesus, maka kita pantas meminta pertolongan padanya; bukan semata-mata karena dia ibu Tuhan. Orang Katolik minta pertolongan Maria bukan karena malu atau tidak bisa langsung meminta pada Yesus, tapi karena percaya bahwa dengan pertolongan Maria mereka bisa meminta dengan tepat sesuai dengan kehendak Allah. Inilah artinya apa yang sering disebut dengan per mariam ad Jesum, melalui maria kepada Yesus. Seringkali dalam doa-doa kita, kita meminta apa yang kita inginkan dan jarang sekali meminta melaksanakan apa yang dikehendaki Allah. Peran Maria di sini sangat jelas yakni sebagai model sekaligus penolong untuk semakin sempurna mengikuti Yesus. Akhirnya dalam konteks dialog dengan anda orang Kristen, saya mau mengutip apa yang pernah ditulis oleh Marthin Luther dalam salah satu kumpulan khotbahnya:“Mary is the Mother of Jesus and the Mother of all of us even though it was Christ alone who reposed on her knees . . . If he is ours, we ought to be in his situation; there where he is, we ought also to be and all that he has ought to be ours, and his mother is also our mother. (Sermon, Christmas, 1529).Luther menaruh hormat yang luar biasa pada Maria. Dia meminta pengikutnya menghormatinya sebagai ibu mereka sendiri.Tentang Maria yang tak bernoda asal, Luther sendiri pernah menulis di tempat lain:She is full of grace, proclaimed to be entirely without sin- something exceedingly great. For God's grace fills her with everything good and makes her devoid of all evil. (Personal {"Little"} Prayer Book, 1522).Saya tidak perlu banyak menjelaskan. Demikian tanggapan saya atas gugatan terhadap peran kepengantaraan Maria. Saya mengajak anda yang membaca ini untuk tetap setia mengikuti Yesus antara lain dengan mengikuti teladan Maria. Dan jangan pernah kapok minta doa dari Maria. Saya kadang heran kenapa sih kita sering minta doa kepada romo atau pendeta…siapa hayo…yang lebih dekat dengan Yesus? Pendeta, romo atau ibunya sendiri? Kalau saya mah selain tetap minta doa pada romo atau pendeta, saya jauh lebih sering minta doa sama bunda yang manis dan penuh kasih itu. Salam,
ronald,s.x.

Merayakan Cinta! Catatan tentang Valentine’s Day
Montie teman kita menceritakan pengalamannya yang menarik; tentang bagaimana kemacetan memaksa dia harus tinggal 3 jam di jalan sekaligus menghilangkan kesempatan emas untuk ikut acara “Valentine’s for single”. Banyak orang muda tengah dag dig dug menunggu sesuatu yang istimewa yang bakal didapatkan di hari khusus itu; mungkin jawaban pasti yang sesegera mengakhiri masa lajang seseorang - “well…akhirnya gw gak jomblo lagi”- atau orang merasa seolah-olah wajib memberikan sesuatu atau merencanakan sesuatu yang istimewa dan tidak biasa untuk mereka yang dekat dan paling dicintai, siapa pun itu. Tidak sedikit pula yang serba tak peduli: “apa lacur tentang Valentine? Bukankah itu urusan orang yang terlalu percaya pada omongan iklan? Baca saja iklan-iklan di surat kabar dan internet seperti: Ready to meet mature single? Looking for an intimate encounter?, dan macam-macam lagi.
Valentines’s day rasanya sebagai satu dari sekian perhentian yang ada dalam hidup kita di mana kita sebentar memandang jalan-jalan hidup yang sudah terlewati dan dengan jujur pula mengakui bahwa langkah-langkah itu, semua hubungan yang sudah kita bina bersama orang-orang dekat kita mustahil tanpa cinta, tanpa pengalaman dicintai dan mencintai.
Tak peduli apakah anda seorang pujangga, seorang filsuf, pekerja IT, pengacara, professor di sebuah perguruan tinggi atau apalah, Valentines’s day tetap harus diakui sebagai perayaan atas salah satu pengalaman manusia yang hakiki yakni intersubjektivitas atau pengalaman bersama yang lain. Maka atas dasar itu pasti kebanyakan dari kita, termasuk orang-orang yang saya sebutkan di sini, dengan jujur sebentar melepaskan buku-buku kesayangannya, pekerjaan yang dibanggakan, meja kerja, jadwal-jadwal yang padat untuk merayakan kebenaran ini dengan orang-orang yang memberi tempat istimewa di hati dan ingatan kita, terserah apakah itu pacar, sahabat atau yang lain.
Valentines’s day seperti menjadi pengingat bahwa sebenarnya kita tidak tengah berdiri di sebuah’taman nilai-nilai yang relatif’, khususnya nilai-nilai intersubjektivitas, intimitas sampai pada seks dan perkawinan. Playboy beserta semua media dengan mainstream yang sama misalnya mengatakan pada kita bahwa bukan cinta yang jadi cita-cita tapi nikmat dan senang. Dan nikmat itu bisa kita dapatkan kapan saja tanpa harus ada cinta. Cinta hanyalah omongan orang-orang tua kita dahulu. Cinta itu relatif, tidak mutlak. Kita bisa menggantikannya dengan uang dan macam-macam barang.
Kesaksian hidup St. Valentine yang terus kita rayakan sampai kini adalah buktinya bahwa cinta tetap menjadi nilai-nilai terbaik yang tak tergantikan. Makanya kita dengan jujur pula mengakui bahwa kita tidak cukup hidup dengan buku-buku filsafat, karir, pekerjaan, dan semua barang yang kita miliki, tapi juga oleh cinta dan pengalaman bahwa kita dicintai, diterima dan disambut oleh sesama kita. Kita sadar bahwa kita hidup, bernafas dan berkarir penuh semangat hingga kini justru karena buah cinta orang-orang yang mencintai kita: ibu, ayah, saudara-saudari, rekan, sahabat dan seterusnya…Tanpa pengalaman dicintai, mustahil kita bisa bergairah untuk hidup dan bekerja.
Maka saya pun memilih juga untuk berhenti sebentar hari ini, masuk dan ikut serta dalam kegembiraan, dan pengharapan orang-orang yang masih tetap percaya bahwa cinta itu penting. Saya ikut serta bersama anda semua mensyukuri pengalaman cinta, pengalaman jatuh cinta, pengalaman dicintai oleh teman-teman, keluarga, sahabat. Saya juga mau tetap senasib sepenanggungan dengan teman-teman yang mungkin merayakan Valentines’ dengan getir: sendiri, tanpa teman entah karena masih jomblo atau baru saja jadi jomblo setelah putus.
Selanjutnyha kita pun tahu bahwa cinta saja tidak cukup untuk hidup bahagia dan penuh. Kita mesti memberi pupuk dan menyirami hubungan cinta kita agar tumbuh nyata menjadi sungguh-sungguh sebuah komitmen untuk beri diri; sungguh-sungguh tanggung jawab dan kepedulian untuk membangun sebuah hubungan yang bisa saja lebih permanent sifatnya – perkawinan. Pupuk yang saya kira paling penting adalah doa. Cinta kita mesti dibangun pula atas dasar iman bahwa Tuhan memanggil kita untuk saling mencintai dan saling memberi; bahwa kita bisa mencintai karena Tuhan sudah terlebih dahulu mencintai kita.
Doa sangat penting untuk diperhitungkan di hari Valentine’s Day ini. Dan saya kira St. Raphael sangat pas juga didevosikan pada hari ini. St. Raphael (artinya Allah yang menyembuhkan) diutus untuk membantu Tobit menemukan jodoh yang paling tepat. Dan adalah Sara, anak Raguel yang menjadi calon istrinya. Ia seorang perempuan manis yang sudah tujuh kali menikah dengan laki-laki berbeda tapi semua suaminya itu mati persis ketika mereka mau melakukan hubungan suami-istri (Baca Tobit bab 5-11). Sara diyakini dibayang-bayangi oleh setan. Baik Tobit dan Sara sama-sama kuatir apakah hubungan mereka akan berakhir binasa. Akan tetapi, Raphael lah yang menolong Tobit dan Sara. Setelah menikah mereka dianjurkan Raphael berdoa, meminta agar Tuhan membebaskan mereka dari yang jahat. Dan memang mereka jadian dan membangun sebuah keluarga yang bahagia. Di hari Valentine ini saya mengajak anda untuk dengan pertolongan St. Raphael meminta pada Tuhan berkah atas hubungan anda. Bagi mereka yang masih single, saya kira St. Raphael tepat untuk dimintakan pertolongan.
Dan akhirnya cinta mesti disirami kesetiaan dan kegembiraan serta pengampunan. Di hari ini, kita diundang untuk memperbaharui komitmen kita untuk mencintai, menyambut, menerima dan mengampuni sahabat, kekasih, ayah, ibu dan semua yang kita cintai tanpa syarat.

Saya yang ikut merayakan dan juga mendoakan anda semua

Ronald,s.x.


Sendok, Garpu dan Cerita Cinta Kita

Sendok, garpu dan tissue makan nampak sebagai barang-barang sepele di sekeliling kita. Hampir selalu kita menggunakannya ketika makan. Saya butuh banyak waktu untuk menggunakan sumpit waktu makan mie ayam dan selalu kagum sekaligus heran melihat betapa nikmatnya orang Jepang makan nasi dengan dua sumpit.
Alat-alat makan itu sebenarnya pernyataan tentang kemampuan manusia untuk tahan diri di hadapan kebutuhan langsung seperti makanan. Kita bisa menahan lapar dan membiarkan tamu kita makan terlebih dahulu. Acara makan selalu saja ditempatkan di bagian akhir dalam setiap perayaan-perayaan dan pesta. Mengulangi apa yang pernah dibilang Karl Marx: “karena manusia mampu membuat jarak terhadap kebutuhan langsungnya, manusia terbuka bagi estetika”, manusia terbuka bagi relasi, terbuka bagi keindahan hidup, persahabatan dan seterusnya…
Semua makhluk hidup butuh makan agar dapat survive/bertahan hidup, tapi hanya manusia satu-satunya makhluk yang bisa menolak makan dengan sengaja. Hanya manusia pula makhluk yang bisa tetap ngobrol atau bicara saat makan. Ini lagi-lagi menyatakan bahwa manusia punya kerinduan, harapan dan hasrat-hasrat yang melampaui kebutuhan langsungnya. Manusia terbuka kepada kemahaluasan, terbuka kepada yang lain, yang lain daripada makanan. Itulah sebabnya kenapa sudah menjadi lumrah bagi kita untuk mengundang sesama, keluarga, teman bahkan pacar untuk makan. Karena kita bisa mengambil jarak terhadap makanan, kita pun bisa mengubah makanan menjadi ungkapan hasrat kita untuk lebih dekat dengan orang-orang yang kita cintai.
Waktu banjir bandang di Jakarta tahun 2002 saya bersama beberapa relawan membagi nasi bungkus untuk para korban banjir di daerah Cilincing. Aksi rebut-rebutan tak bisa kami cegah. Orang saling dorong bahkan hampir berantem gara-gara nasi bungkus. Karena tidak bisa tahan lapar seorang gelandangan akhirnya menjarah sebuah toko makanan. Dia ditangkap tapi kemudian dilepaskan lagi. Dua kejadian ini tidak berarti menunjukkan bahwa mereka hanya hidup untuk makan, melainkan situasilah yang mendorong mereka seolah-olah ‘hidup’ untuk makan. Dan kemiskinan makin jelas membuktikan bahwa tidak semua orang mendapatkan makanan dan minuman yang cukup justru karena ketamakan sebagian kecil orang.
Saya jadi ingat film Paradise Now, sebuah film yang mengisahkan lika-liku dua anak muda Palestina yang berkobar-kobar melawan Israel dengan menawarkan diri sebagai pelaku bom bunuh diri. Jauh di di belakang heroisme mereka nampak bahwa mereka butuh makan, butuh makan dengan tenang sebagai orang-orang merdeka. “I would rather live in paradise in my head than in this hell”…begitu kata salah seorang dari mereka yang dengan jujur mengungkapkan bahwa mereka sudah capek dengan ‘ketidakdilan’, sudah muak dengan penindasan Israel…Film yang sama mengembalikan ingatan saja akan rentetan teror bom di negeri kita oleh orang-orang yang lugu dan sederhana. Walau dikatakan mereka berjuang demi agama dan Allah, tapi sebenarnya mereka berjuang demi ‘roti’, demi nasi untuk anak istri. Dan anda tahu mereka tidak salah. Mereka lebih sebagai korban…
Hampir selalu ketika mengikuti jamuan makan, saya acap kali mendengar doa makan yang dilengkapi dengan ujud bagi orang lapar supaya mereka memperoleh makanan secukupnya. Saya kadang bertanya, apakah memang saat itu orang tengah berdoa ataukah tengah menghina orang lapar dan miskin? Bukankah lebih baik tidak mengucapkan kata-kata itu daripada mengucapkannya tanpa berbuat sesuatu yang lebih riil: memberi makan pada orang yang lapar?
“Manusia hidup bukan dari roti saja tapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah,” (Matius 4:4) demikian seruan Yesus menanggapi godaan setan untuk mengubah batu menjadi roti. Apakah itu berarti manusia tidak perlu makan? Apakah Yesus melarang manusia makan dan hanya bersandar pada sabda Allah? Pernahkah kita kenyang setelah membaca kitab suci atau mendengar kotbah romo yang panjang ngalor ngidul? Bukankah kita sebaliknya tambah lapar? Lalu apa maksud Yesus dengan pernyataan itu?
Maksud Yesus cukup jelas menegaskan apa yang dikatakan tadi, bahwa kita manusia diciptakan terutama bagi yang lain, bukan untuk makan. Kodrat kita adalah hidup bukan bagi diri kita sendiri tapi bagi sesama yang lain dan kelak bagi Allah. “Manusia hidup dari firman yang keluar dari mulut Allah”, persis menggarisbawahi kenyataan iman ini: bahwa oleh firman-Nya segala sesuatu telah dijadikan. Penginjil Yohanes juga dengan jelas menulis bahwa segala sesuatu hidup, dimulai dan diciptakan oleh firman (Yohanes I:1-dst). Firman itu betul-betul nyata bukan hanya melalui ilham yang kemudian tertulis dalam kitab suci tapi dalam diri Yesus sendiri. Dan dalam diri Yesus yang mati di salib kita mengalami betapa Allah sungguh memberi hidup-Nya bagi kita. Kita hidup oleh firman, oleh cintanya yang tanpa syarat.
Dalam masa prapaskah ini kita diundang untuk merenungkan sunguh-sunguh kasih Allah pada kita; kita dipanggil untuk mencintai sebagaimana Allah telah mencintai kita. Prapaskah bukanlah masa di mana kita dilarang untuk makan, tapi masa di mana kita diajak untuk mempercayakan diri pada Tuhan supaya bisa mengubah diri kita menjadi roti bagi sesama yang lain. Puasa dan pantang dengan cara yang kita pilih masing-masing adalah pernyataan bahwa kita mau tak berdaya, kita mau kekurangan dan mau bergantung pada Tuhan daripada kemampuan kita sendiri. Tidak lagi percaya bahwa Tuhan masih sanggup mengubah dunia ini adalah dosa yang paling berat.
Di masa pra paskah ini, mudah-mudahan setiap kali memandang dan memegang sendok dan garpu, duduk makan melingkar dengan orang-orang yang kita cintai, kita mengingat dengan sungguh tugas kita setiap hari, menjadi roti bagi yang lain sebagaimana yang telah dibuat Yesus pada malam perjamuan terakhir dan kita rayakan dalam ekaristi. Di atas meja makan, kita bisa selalu memulai cerita cinta kita yang baru setiap hari.

Salam,
Ronald,s.x.

Makin Intim Saja


Makin Intim Saja


Kita biasa dan mestinya memberi ruang dan waktu bagi keintiman sebuah hubungan. Tanpa itu, hubungan yang kita bangun bersama orang lain, seperti kehilangan cita rasa, menjadi apa yang kita sebut, hubungan biasa-biasa saja. Pada dasarnya kita butuh sendiri, tapi bukan kesendirian total, melainkan kesendirian bersama yang lain.
Kamar kita sediakan khusus bagi istri/suami, lalu kita bedakan dari kamar anak-anak, juga tamu-tamu kita. Kita milih makan di meja paling pojok di sebuah kafe justru untuk bicara lebih leluasa dengan teman atau pasangan kita. Bulan madu direncanakan, akhir pekan dipikirkan, waktu diatur sedemikian rupa sehingga jam makan malam sudah bisa berkumpul dengan keluarga. Sedapat mungkin kita ingin agar orang lain tidak tahu ke mana kita pergi dengan sang pacar, kita tidak ingin orang lain menggangu acara keluarga kita, atau HP di-non-aktifkan justru karena mau melewati makan siang dengan orang yang memberi tempat khusus di hati anda. Pendek kata kita seolah-olah mau sembunyi.
Masa prapaskah atau masa puasa sebenarnya menjadi jalan-jalan mengalami keintiman bersama Tuhan. Kita mulai dengan menandai diri dengan abu di dahi. Samahalnya dengan cincin perkawinan yang kita sematkan di jari, demikianlah abu mau menandai pilihan kita untuk tetap setia dan mengikat diri pada Tuhan.
Keintiman sebuah hubungan bukan identik dengan lamanya waktu, intensnya pertemuan – sekali seminggu ke Anyer atau Pelabuhan Ratu untuk weekend-; tidak sama dengan berjam-jam tawa ria dengan sampanye di atas meja, atau cincin berlian mewah dari Persia yang disembunyikan di balik baju sebelum membuat pasangan surprise…
Keintiman dimulai dari pengakuan dan kepercayaan bahwa kita dicintai dan pernyataan bahwa kita mencintai pasangan kita apa adanya, tanpa syarat. Kentiman dilanjutkan dengan keterbukaan, berani mengaku salah, mengaku khilaf di hadapan sahabat, pasangan tanpa merasa akan dihakimi, dihukum apalagi ditinggalkan. Kentiman dibuktikan dengan kesediaan melakukan yang sama: mensyukuri betapa kita dicintai, membiarkan pipi kita dikecup…mau mendengarkan dan menerima betapa pula kita disakiti dan dikhianati tanpa harus menghakimi…Maka melewati satu malam dengan maaf-maafan bersama istri/suami jauh lebih intim ketimbang menghabiskan satu bulan bulan madu ke Niagara hingga ke Dubai.
Tuhan Yesus sendiri mengajarkannya pada kita. Salah satu kisah yang paling saya sukai adalah kisah tentang perempuan yang berzinah (Yohanes 8:2-11). Ahli-ahli taurat membawa perempuan yang kedapatan berzinah itu ke hadapan Yesus untuk dilempari dengan batu. Sebab hukum Taurat memerintahkan demikian. Akan tetapi, setelah Yesus mengatakan ini: “Barangsiapa di antara kamu tidak pernah berdosa, hendaklah dia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu,” satu per satu mereka pergi meninggalkan si perempuan. Dan Yesus tetap tinggal di situ. Tentu pikir perempuan tadi, karena Yesus satu-satunya yang tidak berdoa, maka Dialah satu-satunya yang menjadi algojo baginya. Namun, sesuatu yang sama sekali lain terjadi: ”Hai perempuan, di manakah mereka? Tidak adakah seorang yang menghukum engkau? Aku pun tidak menghukum engkau!
Prapaskah adalah jalan-jalan kepada keintiman. Dalam jalan-jalan itu kita seakan-akan mendapati diri kita sebagai yang paling rapuh, paling tak pantas dan berdosa di hadapan orang yang sudah sangat mencintai kita. Prapaskah mengundang kita untuk berani mengenali kerapuhan, kecenderungan jahat, dosa-dosa yang kita tutup-tutupi justru dengan kepercayaan bahwa kita tidak akan dihukum, melainkan diampuni tanpa syarat. Kata-kata tadi “Aku pun tidak menghukum engkau”, diperuntukkan bagi anda dan saya yang hari ini memulai jalan-jalan panjang ini.
Pantang, puasa, pengakuan dosa serta laku tobat lainnya yang kita buat mesti dilandasi kepercayaan seperti itu, bahwa Tuhan mencintai kita tanpa syarat. Tanpa kesadaran dan kepercayaan seperti ini, kita tengah menjadi robot-robot keagamaan, yang merasa cukup diri setelah berpuasa dan berpantang selama empat puluh hari; merasa oke dengan menyediakan secara khusus dana sosial untuk disumbangkan ke panti-panti asuhan…
Mengalami dicintai tanpa syarat oleh Tuhan tidak bisa tidak membuat kita mencintai Dia dan sesama tanpa syarat. Kepada perempuan yang berzinah Yesus katakan: “pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang”…Pertobatan dengan demikian adalah pilihan yang sengaja kita buat justru karena kita mengalami betapa kita dicintai. Logikanya sama sekali lain: bukan kita bertobat untuk bela-belain Tuhan, atau merajuk supaya dikasihini, apalagi untuk menyogok Dia. Bukan, bukan itu. Tobat adalah perayaan akan kenyataan bahwa kita dicintai. Dan karenanya kita mau merayakannya dengan mengurangi jatah uang belanja untuk buah lalu uangnya kita masukkan ke kotak APP; menghabiskan satu batang rokok sehari dan sisanya dibagikan ke teman-teman; menambah 10 menit waktu berdoa dari 5 menit yang biasa kita lakukan dan masih banyak lagi pernyataan tobat pribadi lainnya yang bisa kita wujudkan. Masing-masing kita mesti punya cara untuk merayakan saat-saat intim bersama Dia tanpa harus pamer. “Bapamu yang melihat yang tersembunyi, akan membalasknya kepadamu. (Matius 6:1-6;6-18). Dengan semakin intim bersama Dia, kita makin intim dengan sahabat, rekan, istri dan anak-anak kita. Selamat menjalani masa prapaskah.

Salam,

Ronald,s.x.
http://renungan-inspirasi.blogspot.com/


SEPERTI BURUNG GEREJA MUSIM INI

Kawanan burung Gereja rupanya ikut merayakan musim buah rambutan yang saat ini lagi memerah ranum-ranumnya. Mereka berlari-lari, berkejar-kejaran di atas pohon rambutan lalu terbang tinggi. Burung-burung itu seperti kawanan burung yang setiap pagi bertengger di atas kubah Katedral tua yang setiap hari saya lewati ketika harus ke Santa Maria, sekolah dasar saya dulu 15 tahun lalu. Maka saya menerima begitu saja kalau orang-orang menamakan kawanan burung-burung itu dengan sebutan burung Gereja.
Tingkah burung-burung Gereja ini seolah-olah mau mengatakan bahwa hari itu merekalah makhluk yang paling bahagia, meski pada saat yang sama Penelope Cruz mengaku bahagia karena disebut sebagai artis dengan pakian teranggun di jagad Hollywood atau di tempat lain Raja de Sitorus, konglemerat sawit dari Sumatera Utara mengaku orang yang paling bahagia karena memiliki ribuan hektar lahan sawit. Bahkan meski sekarang sedang menjalani tahanan rumah, dia masih mengendalikan bisnisnya yang bernilai miliaran dollar itu. Dan memang tidak salah kalau orang ramai-ramai memuja-muja dan mengidolakan orang-orang seperti ini.

Sementara di sebuah rumah kecil di sudut kota Yogyakarta, Susana, sahabat saya menjalani masa pensiun dininya dengan bahagia. Kepada saya diceritakan bahwa pilihan itu tidak pernah dia sesali. Jabatan istimewa sebagai purchasing manager di sebuah perusahan terkemuka sebenarnya memberi peluang untuk jabatan yang lebih tinggi lagi. Salary yang tinggi plus jaminan macam-macam sebenarnya sudah cukup membuat dia bahagia, bahkan berkelimpahan. Akan tetapi dia akhirnya memilih berhenti dan ingin mendampingi kedua anaknya yang sejak lama ditinggal dan dititipkan pada mertua. Mendampingi putra-putrinya adalah pilihan yang paling membahagiakan meski kadang-kadang ada dorongan besar untuk kembali berkarir. Tawaran untuk kembali bekerja adalah godaan baru yang tetap menguji pilihan yang sudah diambil.
Kebahagiaan tidak pernah bersumber dari barang, uang dan makanan. Semuanya itu hanya memberi kita nikmat, nyaman, senang dan cita rasa yang sementara. Kebahagiaan pun tidak berasal baik dari diri kita sendiri maupun dari luar diri kita. Jika betul berasal dari diri kita sendiri, kenapa kita tidak otomatis bahagia? Kenapa kita selalu mencari kebahagiaan? Kalau dari luar diri kita, kenapa kita tidak pernah puas dengan harta benda yang kita miliki?
“Berbahagialah yang miskin di hadapan Allah” adalah seruan Yesus yang menjadi kunci untuk memahami ucapan-ucapan bahagia selanjutnya (Mat.5:3-12). Yesus tidak memaksudkan bahwa orang yang miskin, yang tidak punya apa-apa, yang berkekurangan secara materil, bahagia. Ia juga tidak mengutuk orang kaya sebagai kebalikannya. Di hadapan adalah frase yang mengisyaratkan perjumpaan dan hubungan. Dalam iman, kita berjumpa dengan seorang Pribadi yang mengasihi kita tanpa syarat, yang betul-betul menjamin hidup kita. Dalam iman kita mendapati diri kita sebagia orang yang sungguh dicintai, diterima tanpa syarat. Sulit membayangkan bagaimana Allah yang Maha Kuasa mau menjadi Maha Hina seperti manusia, berjuang bersama kita bahkan mati sebagai penjahat untuk kita. Allah yang diwahyukan Yesus lain sama sekali dengan Allah yang kita pelajari dari sinetron, dari cerita dan kepercayaan sekeliling kita; Allah yang memegang pedang, yang memegang buku tulis besar menentukan siapa yang masuk surga dan siapa yang ke neraka; Allah yang gampang disogok oleh perbuatan-perbuatan saleh kita. Cukup sering kita yakin bahwa misa atau perjamuan kudus tiap minggu sudah cukup mendapatkan satu tiket ke surga.
Di hadapan orang yang sedemikian mengasihi kita bagaimana mungkin kita tidak mempercayakan diri? Saya kira, seorang bayilah yang paling mengerti apa artinya mempercayakan diri. Dia merasa dan mengalami bagaimana dicintai, disapih dan dimomong ibu, maka tanpa tanya seorang bayi selalu bisa tidur pulas. Dia tidak cemas, bagaimana kalau nanti digigit nyamuk, atau tiba-tiba pipis di popoknya. Atau seperti burung-burung Gereja tadi, yang terbang di udara, bermain-main tanpa kuatir akan jatuh dan mati. Saya selalu kagum pada burung-burung itu justru karena mereka hanya cukup percaya dan bergantung pada kedua sayap mereka, tanpa membawa apa-apa dan tanpa membawa banyak hal mereka tetap terbang bahagia. Kalaupun mendapatkan makanan, makanan itu dibawa ramai-ramai dan diselesaikan ramai-ramai di antara kawanan burung. Ini sesuatu yang jauh beda dengan anda dan saya. Kita cenderung merasa tidak cukup dan karenanya pingin lebih dan lebih.
Maka menjadi miskin di hadapan Allah merupakan nada dasar seluruh ucapan bahagia itu. Miskin di hadapan Allah adalah sebuah sikap iman; memilih untuk mencintai Allah justru karena Dia sudah terlebih dahulu mencintai kita. Kita disebut bahagia bukan karena usaha kita, tapi justru karena Allah memilih untuk mencintai kita. Allah adalah surga itu sendiri. Dan surga bukanlah pekara tempat – dan cukup banyak orang beragama ribut-ribut soal hal yang satu ini, soal siapa yang lebih layak dan tidak – sebab akan membuang-buang waktu saja membicarakannya.
Karena surga adalah Allah sendiri maka kerajaan surga pertama-tama adalah anugerah istimewa bagi kita. Surga adalah anugerah diri Allah. Dan Yesus beserta seluruh hidupnya adalah surga yang paling nyata bagi kita.
Kita merayakan kebahagiaan itu dengan memilih untuk -meski memiliki barang dan sarana duniawi -tidak bergantung padanya, dan tetap bisa bahagia tanpa harus memiliki lima sampai enam Motorola atau 4 limosin terbaru; kita tetap merasa gembira meski harus naik bajaj atau ngojek karena mobil Mercy kita kerendam banjir yang hari-hari ini nyaris menenggelamkan Jakarta. Malah kita bersyukur masih bisa ngobrol dengan mang bajaj atau si tukang ojek. Yang membuat kita bahagia adalah kenyataan bahwa kita tetap bisa bekerja, tetap bisa mencintai orang lain meski kita tidak memiliki atau tidak membawa apa-apa. Dan di sinilah kita bisa menyamai diri dengan burung Gereja tadi.
Miskin di hadapan Allah tidak cukup dengan pilihan untuk bersikap lepas bebas seperti dikatakan tadi, melainkan mesti ditambah dengan pilihan yang lebih radikal: menjadi sepikir dan seperasaan orang yang kita cintai, yakni Yesus sendiri. Inilah pilihan yang total melengkapi kebahagiaan kita.
Menjadi seperti Yesus berarti seperti Dia dalam tugas dan karya kita masing-masing, membawa penghiburan bagi mereka yang berduka dan kesepian, yang berani memperjuangkan prinsip dan kebenaran tapi dengan cara yang lembut tanpa kekerasan. Menjadi seperti Yesus berarti seperti burung-burung tadi tidak berhenti berbagi dan bermurah hati dengan menyumbangkan kelebihan yang kita miliki, dengan menyediakan waktu untuk mendengarkan serta menjadikan damai sebagai penyelesaian terbaik untuk setiap konflik yang kita hadapi. Surga mesti kita bagikan kepada semua orang, surga yang sudah kita terima dari Allah sendiri. Hiduplah sebagai orang yang berbahagia sekarang ini. Pilihan ini sungguh membantu banyak orang untuk tetap percaya bahwa surga itu ternyata bukan isapan jempol belaka. Saling mendoakan!

Million Dollar Baby


Million Dollar Baby

Pasti kebanyakan anda pernah menantikan kelahiran orang yang dikasihi, entah itu anak adik, atau saudara dekat. Tentu saja orangtualah yang paling menantikannya dengan sangat. Apalagi jika kelahiran itu menjadi pengalaman pertama, atau kejadian yang sudah begitu lama ditunggu-tunggu. Menantikan kelahiran anak samahalnya dengan menantikan hadirnya buah cinta. Anak menjadi penegasan dari cinta sendiri. Cinta sejati selalu berbuah kehidupan. Keberadaan anak dimungkinkan karena komitmen dua orang yang mencintai melampaui diri mereka. Cinta yang dibangun berdua, dipersembahkan dan direlakan bagi orang ketiga, keempat dan seterusnya…dalam diri anak-anak kita.
Impotensi permanen sekalipun tetap tidak menghalangi orang merindukan kehadiran buah cinta. Kerinduan itu sendiri mengafirmasi komitmen yang bersangkutan untuk mencintai dengan tulus; bahwa cinta mereka bukan egois-bagi diri mereka sendiri. Kerinduan mereka bisa saja diwujudkan dengan mengadopsi atau mengasuh anak, atau melalui tindakan-tindakan kasih lainnya.

Sejak lama dalam sejarah manusia, peristiwa kelahiran mendapat tempat yang hampir sejajar dengan kisah-kisah kepahlawanan, epos perjuangan.Bahkan kelahiran hampir selalu sudah terjalin dalam kisah-kisah kepalahwanan semacam itu. Bagi bangsa Yahudi, khususnya perempuan, anak adalah berkah. Sebaliknya, tanpa anak, perempuan harus menanggung aib atau malu. Semacam ada yang corrupt dari identitasnya sebagai manusia, sebagai perempuan. Hana ibu Samuel misalnya, mengalami aib dan penantian yang panjang, sampai akhirnya Tuhan mendengarkan doanya lalu ia mengandung dan melahirkan Samuel. Kisah Simson atau bahkan kisah purba tentang Sara istri Abraham juga menceritakan yang sama.
Selain sebagai buah cinta, anak seringkali diyakini sebagai pemberian/gift. Atas alasan itulah Hana dan bahkan manusia sepanjang masa memohon dikaruniai anak. Kepercayaan ini tidaklah kosong, apalagi senaif aggapan bahwa bahwa kehadiran anak semata sebuah peristiwa otomatis dan exact, bahwa segera sesudah embrio terbentuk berka t bertemunya sel sperma dan telur dengan sendirinya anak akan lahir. Padahal, embrio harus mengalami proses-proses yang kompleks dan rentan serta waktu yang lama untuk bertumbuh menjadi bayi. Bukan itu saja, manusia selama 9 bulan di rahim ibu mengalami hal yang paling genting, khususnya dalam peristiwa kelahiran. Sebab, kemungkinan untuk atau hidup atau mati peluangnya 50 berbanding 50 baik untuk bayi maupun untuk ibu.

Memang dengan ilmu pengetahuan, kita bisa menjelaskan bagaimana proses itu terjadi. Bahkan sekarang dengan USG dan sejenisnya, kita bisa mengontrol bukan hanya jenis kelamin tapi keadaan bayi apakah nanti akan lahir cacat atau tidak. Lebih lagi, kita pun bisa meminimalkan resiko kematian baik ibu dan anak. Akan tetapi hal yang tidak bisa kita jawab adalah bagaimana semuanya itu bisa ada? Kenapa embrio harus mengalami proses-proses kompleks sehingga lahir manusia? Kenapa harus demikian, dan kenapa tidak dengan cara lain pun tak kuasa kita jawab. Seperti ada yang tetap tinggal sebagai misteri. Dan di hadapan misteri itu kita semua, siapa pun, menerima kenyataan bahwa kita pada dasarnya adalah pemberian, we are totally a gift..
Kita tak sama seperti batu yang begitu saja atau semena-mena tergeletak di atas tanah, tapi sebagai pribadi yang hanya bisa ada kehadiran yang lain. Kasih papa dan mama paling jelas membuktikannya. Jauh lebih dari itu, kasih Allah yang memungkinkan semuanya ada. Tangan-tangannya secara tersumbunyi menyertai kita melewati masa-masa yang sulit selama 9 bulan di rahim hingga kelahiran. Nabi Yesaya tidak salah mengatakan bahwa Allah “ telah memanggil anda sejak dari kandungan, telah melukiskan anda di telapak tangannya” (Yes.49:1,15b)
Pemberian mengisyaratkan bahwa yang memberi mempercayakan kepada yang menerima supaya pemberian itu diperlakukan, diterima dengan baik.Artinya, ada kesadaran bahwa anak tidak sama kedudukannya dengan property kita, seperti furniture, mobil di garasi atau barang lainnya yang bisa semau dan sesuka hati kita perlakukan. Anak pada saat yang sama menjadi milik kita dan milik Allah sendiri.
Pantaslah manusia dengan arif mengungkapkan kepercayaan itu dalam perayaan seperti sunat, babtis bayi dan sejenisnya. Melalui perayaan-perayaan semacam itu, anak dikuduskan bagi Allah..dikhususkan bagi Sang Pemberi Hidup.
Memperingati peristiwa dipersembahkannya Yesus di Bait Allah rasanya mengembalikan kita pada peristiwa serupa yang terjadi pada kita. Kita dalam segala kerapuhan sebagai bayi, belum tahu apa-apa atau mengerti apa pun diserahkan orangtua kita pada Allah melalui babtisan. Melalui babtisan kita juga diserahkan (baca: inisiasi) kepada Gereja atau kepada komunitas beriman. Pendek kata peristiwa ini pun mau mengatakan hal penting tadi: we are totally a gift..Nama kita adalah anugerah.
Saat bayi kita masih merupakan anugerah yang pasif-justru karena kerapuhan kita, karena belum adanya kesadaran dan pengertian. Maka, memperingati peristiwa Yesus dipersembahkan kepada Bait Allah (Lukas 2:22-40)
pada dasarnya mengundang kita untuk menjadi anugerah yang aktif sebagaimana yang telah ditunjukkan Yesus. Saatnya bagi kita untuk memikirkan kembali panggilan kita sebagai anugerah dalam kapasitas masing-masing sebagai guru, pelajar, seniman, penulis, pewarta, konsultan, akuntan, jurnalis dan seterusnya…
Antara lain kita dipanggil seperti Simeon dan Hana untuk menghargai pentingnya kehidupan. Penantian Simeon serta lagu kegembiraannya adalah kidung kehidupan, yang mempersilahkan Allah sang pemberi hidup masuk dan mengubah sejarah hidup manusia. Menerima Yesus, seperti Zakaria dan Hana, mutlak meminta kita menghormati Kehidupan, sejak terbentuknya embrio hingga kematiannya sebagai manusia. Jelaslah kita mengutuk pilihan aborsi yang disengaja. Dengan tugas kita masing-masing marilah kita menggalakan perjuangan untuk menghormati kehidupan. Dengan cara ini, kita mempersilahkan Tuhan terus mengubah sejarah terus menerus melalui manusia-manusia baru yang lahir.
Jika anda pulang ke rumah, melihat bayi anda atau setidak-tidaknya punya kesempatan untuk memangku bayi, bisikanlah ke telinganya permintaan untuk mengubah dunia ini. Dan seraya menyandarkan pipi anda di keningnya, berdoalah untuk sahabat-sahabatnya yang harus menghadapi pisau dan gunting di klinik-klinik aborsi; bagi saudara-saudaranya yang harus menjadi pengungsi karena perang.

Salam,
Ronald,s.x.

Blogger Template by Blogcrowds