Bunga Citra Lestari

Bunga Citra Lestari –tentang Salib

Sepanjang jalan Gejayan yang sekarang berganti nama Afandi, anda akan dibuat pusing oleh ratusan papan iklan, banner produk dan papan nama toko serta gerai-gerai yang seolah-olah berlomba-lomba ‘memperlihatkan diri’, mencuri hati dan menggoda the passers by untuk singgah dan membeli.
Dalam hitungan menit di layer kaca, iklan serupa mengikuti pandangan kita dengan pernyataan dan saran sugestif; sedapat mungkin memanjakan mata kita. Di samping produk-produk yang ditawarkan ada gambar idola-idola kita dengan senyum wajah berseri, meyakinkan anda bahwa memang barang-barang seperti itu pantas dimiliki. Belum lagi dalam setiap exhibition show atau launching prodak, ditempatkan beberapa SPG (sales promotion girl) yang cakep-cakep menambah daya tarik barang-barang itu. This is the spirit of market place. No one can argue!
Setiap hari mata kita dihadapkan dengan begitu banyak pencitraan. Bahkan kemajuan teknologi khususnya revolusi fotografi dan sinematografi telah menjadikan realitas di tempat lain sedemikian dekat nya dengan kita. Banner, billboard raksasa, iklan dan film di layar kaca mencitrakan, menghadirkan secara ringkas realitas yang sesungguhnya – yakni barang yang ada di toko, mobil yang ada di tempat display, dst.. Dalam layar 14 inchi kita bisa melihat dokumentasi tentang Dubay tanpa harus pergi ke sana. Inilah hal positif yang patut disyukuri dari salah satu penemuan manusia.
Daya tarik pencitraan itulah yang bisa membuat kita berhenti, mengurangi laju mobil kita persis ketika memandang Ngobrol Iritnya IM3 dengan tokoh Nidji atau Indomie dengan Luna Maya yang rupawan; bisa juga tetap ngetem di sofa melihat Del Piero minum Extra Joss lalu bisa superkuat di lapangan hijau…Daya tarik itu sering menjadi magnet walaupun ralitas sesungguhnya tidak seluruhnya begitu. Pencitraan hampir selalu menggendong hiperbolisme.
Tapi tidak pada Salib, tak ada yang berlebih-lebihan pada salib. Bahkan hampir tak ada daya tariknya bagi orang-orang sezaman Yesus lebih dari 2000 tahun lalu. Salib sebanding dengan vonis mati bagi para residivis pada masa kekaisaran Romawi. Maka salib adalah kutukan dan aib. Tak ada orang yang ingin berhenti dan memandangnya, kecuali mereka-mereka yang dulu betul-betul menginginkan kematian Yesus. Jauh-jauh hari nabi Yesaya sudah menubuatkan betapa tidak menariknya salib:
“Ia tidak tampan dan semaraknya pun tidak ada. Ia sangat dihina, sehingga orang menutup mukanya terhadap dia dan bagi kitapun dia tidak masuk hitungan” (Yesaya 53:2-3)
Beberapa teman-teman Muslim saya sungguh menghormati Isa Almasih, tapi juga tidak bisa menerima atau percaya bagaimana mungkin seorang nabi bisa mati sesia-sia Dia. Jika kita ingin jujur, sepertinya apresiasi kita terhadap salib juga kurang. Bukti yang paling jelas antara lain bagaimana semarak Natal jauh lebih luar biasa ketimbang paskah. Jalan salib baru ramai ketika sudah mulai memasuki triharisuci dibandingkan hari jumat lainnya. Yah.., saya pikir ini lumrah karena sudah cukup terlanjur kita menanggung kesan bahwa salib selalu meninggalkan kisah sedih dan pilu, penderitaan dan kematian yang pasti semua kita tidak inginkan.
Lalu kenapa justru apa yang paling hina itu mengubah seluruh sejarah dunia lebih dari 2000 tahun lalu, mengapa manusia yang terpaku di palang penghinaan itu mengubah hati banyak orang sepanjang zaman hingga kini? Pertanyaan inilah yang saya renungkan ketika duduk memandang salib. Kalaupun saya ada saat itu, pasti saya tidak ingin memandangnya. Lebih dari dua kali saya menyaksikan kecelakaan di depan mata saya, dan saya selalu memalingkan muka ketika melihat betapa ngerinya luka yang dialami para korban. Apalagi jika saat itu saya tahu jika Yesus akan disalibkan. Pasti saya sudah ikut-ikutan dengan kesepuluh murid yang lari tunggang langgang meninggalkanNya.
Setiap jumat agung secara khusus kita memberi waktu menghormati salib. Kain ungu lambang kedukaan yang menutup corpus/tubuh Yesus dibuka untuk dihormati. Bagi saya ini adalah pernyataan bahwa salib bukan hanya melulu meninggalkan pesan duka dan pilu melainkan pesan keselamatan, pesan yang membawa pengharapan.
Saya selalu kagum pada Yohanes, Bunda Maria, Maria isteri Kleopas dan Maria Magdalena yang berdiri dekat dan memandang Yesus tersalib (bdk. Yohanes 19:25). Mereka adalah orang yang berpandangan dan bersikap sama sekali lain dari orang-orang saat itu; yang sanggup menemukan permata dan keindahan di balik apa yang dianggap orang sebagai aib dan kutuk.
Sekarang mari coba kita menempatkan diri sebagai Maria Magdalena. Saya membayangkan perasaannya. Dia tahu sungguh-sungguh siapa Yesus dan bagaimana merasakan cinta dan perhatian-Nya yang tulus. Darinya Yesus berhasil mengeluarkan tujuh roh jahat (Mrk.16:9). Dan tentu dia sungguh percaya bahwa mustahil orang yang sedemikian mengasihi tanpa syarat akan mati selamanya. Kiranya inilah sebabnya mengapa Yesus menampakkan diri pada perempuan pendosa ini. Iman akan kebangkitan mulai dari sini, kepercayaan seperti Maria Magdalena. Pengalaman melihat Tuhan yang bangkit melengkapi secara total iman Maria. Maka saya kira sangatlah penting menyadari bahwa kebangkitan bukanlah semata-mata peristiwa manusiawi, peristiwa biasa, melainkan peristiwa iman. Tidak cukup percaya pada kebangkitan hanya dengan fakta kubur kosong. Fakta kubur kosong dan pengalaman melihat Tuhan adalah pengalaman khas dan personal Maria, bukan pengalaman kita karena itu adalah rahmat baginya. Akan tetapi, pengalaman iman Maria bisa menjadi pengalaman iman kita. Inilah rahasia Paskah. Di satu pihak Sang Putera Allah menampakkan dirinya, dan di lain pihak, manusia – yang diwakili Maria Magdalena- menerimanya dengan iman.
Pada Yesus tersalib seperti semua realitas kemanusiaan kita dan pribadi Allah sendiri dicitrakan, dihadirkan secara ringkas dan lugas. Di satu pihak, pada sang tersalib, kita menemukan dua hal. Yang pertama adalah betapa rapuh dan tak pantasnya kita di hadapan Allah justru karena kejahatan dan pemberontakan kita (bdk. Yes.53:5). Kedua adalah ideal atau jalan kesempurnaan, jalan kemuridan yang mesti kita lalui. Pada sang tersalib kita melihat gambaran dan ideal tentang manusia sempurna yakni yang mengasihi tanpa syarat. Tidak salah jika jauh-jauh setelah menghukum Yesus, Pilatus menyerukan kata-kata ini: Ecce Homo, Lihatlah Manusia itu (Yoh.19:5). Pandangilah manusia sempurna itu, ikutlah Dia!
Di pihak lain, pada sang tersalib, kita melihat siapa Allah sesungguhnya. Allah yang diwahyukan Yesus Tersalib adalah Allah yang Mati karena sedemikian mengasihi kita. Tak salah jika setelah lambung Yesus ditikam, sang prajurit kepala dengan lugas menyatakan, “Sungguh Dia Anak Allah”. Kepada Allah macam inilah kita mesti percaya dan menyerahkan diri kita.
Akhirnya pada Sang Tersalib kita menemukan bunga citra lestari, sesuatu yang bisa dibayangkan dengan terlebih dahulu mengingat kidung indah jumat agung ini:
Salib suci nan mulia
Kayu paling utama
Tiada yang menandingi daun bunga buahnya

Sang Tersalib adalah pohon keselamatan. Pada-Nya Allah bukan hanya seolah-olah tapi sungguh-sungguh dekat dengan kita; pada salib kita bisa menikmati dan mengecap betapa baiknya Tuhan. Pada salib kita melihat bagaimana cara mencintai yang sesungguhnya, bagaimana cara hidup sesungguhnya. Gereja lahir justru dari salib, dari pemandangan atau kontemplasi Bunda Maria, Yohanes, Maria Magdalena dan murid lainnya. Buah cinta adalah kehidupan, bukan kematian karena Kristus menghembuskan seluruh hidup-Nya bagi kita. Dengan demikian salib bukanlah kutuk lagi, tapi berkah keselamatan yang lestari dan abadi bagi dunia seluruhnya. Iman paskah mesti mulai dari sini. Inilah yang mesti kita hayati setiap hari dan kita wartakan sebagaimana yang ditandaskan rasul Paulus: “Pemberitaan tentang salib memang adalah kebodohan bagi mereka yang akan binasa, tetapi bagi kita yang diselamatkan pemberitaan itu adalah kekuatan Allah.” (1 Kor.1:18)

Salam,

Ronald,s.x.

Cemburu - Mamma Mia!


Cemburu…Mamma Mia!

Seorang teman baru-baru ini bertanya perihal fenomena cemburu, realitas yang paling sering kita jumpai dalam pola-pola hubungan yang karenanya wajar tetapi sekaligus memperlihatkan problematiknya.
Cemburu berangkat dari kebutuhan psikologis setiap kita untuk diperhatikan dan diperhitungkan lebih dari yang lain. Jika kebutuhan ini tidak dipenuhi, kita kesal, marah. Air muka kita tidak welcome lagi sama yang lain, atau mulai buat distance sama doi kita yang misalnya kemaren kok kelihatan akrab banget sama teman lamanya…Idih…!
Cemburu mungkin sebanding dengan iri…Hanya saja, seperti sudah disepakati bahwa cemburu selalu dalam konteks hubungan cinta spesial antar manusia, sementara iri hati lebih pada hubungan yang biasa atau tidak istimewa, dipicu karena ada kualitas-kualitas tertentu yang kita idealkan tetapi tidak berhasil kita miliki sementara orang lain memiliki…Misale, kita iri sama tetangga yang meski baru tamat kuliah toh tiba-tiba kaya, usahanya maju; atau kita iri melihat istri teman jauh lebih hospitable ketika ngelayani tamu daripada istri sendiri yang pemalu dan kuper. Atau kita iri sama yunior kita yang baru datang toh tiba-tiba langsung ‘mengambil hati’ si Bos
Cemburu tidak lain adalah efek samping dari penghayatan cinta yang belum sempurna. Cinta dihayati sedemikian posesif nya. Biasanya yang kayak gini dilakoni para teenager. Hal yang sama ketika hubungan cinta kita dengan pasangan begitu romantisnya…Cinta romantis selalu cenderung ‘memiliki’, kalau boleh jangan sampai lepas…Ini mah wajar saja, dan semua orang yang normal mengalami ini. Akan tetapi, untuk mencapai hubungan cinta yang penuh, orang harus melampauinya. Seperti yang pernah aku singgung dalam blog ku, hidup berkeluarga mustahil dibangun hanya karena cinta romantis; gak cukup dan gak akan langgeng jika berkomitmen bikin rumah tangga segera sesudah satu atau dua kali ketemuan seperti yang sering dilakoni orang-orang Hollywood yang cukup sering jadian setelah ketemuan di red karpet.
Di balik rasa cemburu, hubungan kita di bawah sadar masih dalam kategori aku dan benda (dalam bahasa seorang bijak bestari bernama Martin Buber). Kita belum sungguh-sungguh tertarik pada seluruh pribadi orang, tapi masih berhenti pada kualitas-kualitas luar yang dimiliki pasangan kita. Maka kita tidak rela kalau wajah tampan sang pacar dikecup lembut si itu – yang belakangan baru ketahuan adalah adiknya, celaka! -; atau kita miris melihat dia dekat-dekatan sama yang lain, semobil lagi…mamma mia!
Cemburu adalah pernyataan tentang rapuhnya cinta kita tapi pada saat yang sama memperlihatkan kebutuhan akan transendensi. Kita mesti melampaui, mentransend hubungan aku-benda menjadi hubungan aku-engkau. Di sinilah kita mencintai pasangan berdasarkan seluruh kekayaan pribadinya termasuk semua kekurangannya. Di dalamnya ada kepercayaan/trust dan ada kebebasan. Seorang suami yang sungguh mencintai istrinya mustahil selalu membuntuti dia ketika yang bersangkutan ke kantor; mencari tahu jangan-jangan dia punya TTM atau sejenisnya…Melainkan karena tahu dan percaya bahwa sang istri sedemikian mencintainya maka ia tidak mengambil tindakan itu. Dia lebih memilih memelihara hubungan baik dengan istrinya daripada main polisi-polisian.
Iri hati, yang dekat dengan cemburu, sering muncul persis ketika kita mulai membanding-bandingkan. Ketika kita mulai membandingkan, kita sebenarnya tidak merayakan keistimewan pribadi kita, menemukan cahaya dan permata yang ada dalam diri kita sendiri. Mungkin juga kita acap kali tergoda dengan keyakinan bahwa menjadi orang hebat selalu ditentukan dengan jumlah kualitas-kualitas yang kita miliki. Sekiranya kualitas-kualitas itu tidak kita punya, kita down, tidak bersemangat atau cenderung melarikan diri dalam imitasi dan identifikasi diri pada orang dan hal yang tidak tepat. Dan kita tidak pernah lagi menjadi diri sendiri. Padahal menjadi hebat dan besar adalah mulai dengan gembira dan bahagia menekuni cara hidup berdasarkan potensi-potensi yang kita punya dan mensyukuri semuanya itu. Jika ada yang kurang toh itu tetap mengundang kita untuk membuka diri bagi kerjasama dan partnership. Semoga anda setiap hari tetap merayakan keistimewaan hidup yang anda punya.

Ronald,s.x.
http://renungan-inspirasi.blogspot.com/

Love of My Life – Tinggallah Bersama Aku!

Tahun lalu Mel Gibson menghasilkan sebuah sinematografi yang memukau dan mengiris-iris hati, tiada lain the passion of Christ. Film ini merebut cukup banyak perhatian dibandingkan dengan film-film bertema sama pada tahun-tahun sebelumnya terutama karena menghadirkan dan menekankan penderitaan Yesus yang luar biasa. Laporan Injil seolah-olah hidup di dalam mata penonton, mengaduk-aduk perasaan, sedih bercampur ngeri. Akan tetapi, passion of the Christ tetaplah sebuah tafsir tentang penderitaan Yesus. Toh ia bukan segalanya, dan identifikasi kita terhadap pribadi Yesus tidak bergantung pada film yang pernah menduduki peringkat teratas box office di bioskop-bioskop Amerika itu. Lagi pula, cukup banyak hal penting yang tidak begitu banyak disinggung dalam film ini.
Di awal pekan suci ini saya mengajak anda kembali pada Injil, menggali dan menemukan bersama realitas penderitaan Yesus yang jauh melebihi ribuan luka dan mandi darah yang hampir sedemikian ‘sadis’nya dilukiskan Gibson. Salah satu adegan terpenting yang mendahului penderitaan Yesus adalah pengalaman terminal, pengalaman yang hampir serupa sakrat maut, ketika ia berada di Getzemani. Di tempat ini Yesus harus memutuskan, melanjutkan misinya atau tidak. Karenanya pula pengalaman ini menjadi pengalaman yang sangat eksistensial.
Getzemani juga menjadi tempat perpisahan yang tragis dan karena itu pengalaman ini pun bisa disebut sebagai pengalaman perpisahan Yesus dengan para murid. Perpisahan itu sudah dimulai ketika mereka makan Paskah bersama (Mat. 26:17-25). Ia mengingatkan bahwa salah seorang dari para murid-Nya akan menyerahkan Dia. Tanda-tanda perpisahan kiranya mulai terbaca oleh para murid. Segera sesudah makan bersama, mereka berangkat menuju taman Getzemani. Yesus memilih untuk mengungsi pada Bapa di saat dia digoda oleh banyak perasaan: mungkin perasaan untuk tidak rela meninggalkan Petrus dkk. yang masih belum mengerti dan yang sungguh ia cintai; tentu saja perasaan sedih ketika tahu bahwa satu di antara orang yang dikasihinya sebentar lagi akan datang untuk menyerahkan Dia.
Ia membawa Petrus, Yakobus dan Yohanes bersamanya tidak jauh dari para murid lain yang disuruhnya menunggu dan berjaga. Kiranya ketiga orang inilah yang dari dekat mendengar keluh kesah Yesus meski mereka sendiri masih belum sepenuhnya mengerti apa yang akan terjadi.
“Hatiku sangat sedih, seperti mau mati rasanya. Tinggallah di sini dan berjaga-jagalah dengan Aku”(ayat 38)…Betapa dalam rintihan Yesus. Dalam kesadarannya akan kematian, Ia gentar dan sedih membayangkan apa yang sedang menunggu di depan-Nya, yakni penderitaan dan kematian. Tidak siapapun dari kita yang suka menderita. Yesus pun tidak. Dia tidak masuk hitungan para masokist, orang-orang yang gemar menderita. Lihatlah, betapa Tuhan mengenakan seluruh kemanusiaan kita secara lengkap, seluruh kesepian dan ketakutan kita; yah.. memang tepat keluhan itu: “seperti mau mati rasanya.
Dia meminta para murid-Nya untuk tetap tinggal dan berjaga-jaga; sebuah pernyataan total untuk dimengerti dan dicintai; untuk tidak ditinggalkan. Saya paham betul perasaan Yesus. Yudas telah mengkhianatiNya; Ia tahu bahwa murid-murid lain dalam bahaya yang sama. Akan tetapi kepada ketiga murid inilah Dia memohonkan bantuan istimewa, apalagi setelah mendapati murid-murid lainnya malah sedang tidur (ay.40). Bisa jadi perasaannya lebih teriris-iris lagi. Bayangkan jika selama ini Dia yang selalu melayani semua permintaan orang termasuk para murid-Nya, sekarang Dialah yang meminta sesuatu dari para murid-Nya: tinggallah bersama aku. Dia ingin ditemani dan dikuatkan, supaya tidak jatuh dalam godaan yang sama: tidak setia.
Di saat yang paling genting seperti ini, apalagi menyadari bahwa mulai jelas bahwa banyak murid yang meninggalkan Dia, Dia sadar bahwa Bapa lah tempat pengungsian terbaik dan terakhir. Maka Ia berdoa pada Bapa, mempertaruhkan kepercayaan dan cinta-Nya. Dia membuka seluruh dirinya pada Bapa, semua perasaan-perasaan manusiawinya: “Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku”. Yesus sebanyak tiga kali menanyakan ini dalam doa-Nya (ay.39,42, 44). Artinya, bisa jadi ada tiga kali kemungkinan dan godaan bagi Yesus untuk pergi dan bahkan lari. Apalagi di seberang taman Getzemani terhampar padang pasir mahaluas di mana para penyamun dan perampok melarikan diri. Bisa pula kata-kata itu dibayangkan demikian: Tidakkah ada jalan lain daripada jalan ini? Bukankah Dia diberi kuasa? Bukankah Dia yang membangkitkan orang-orang mati dan menyembuhkan orang sakit dari penderitaan?
Akan tetapi Yesus memilih taat justru karena tahu bahwa Bapa menghendaki jalan ini. Mati untuk mencintai adalah jalan sempurna memperlihatkan wajah belas kasih Bapa pada dunia. Melampaui semua perasaan-perasaan manusiawi-Nya, Dia memperbaharui ketaatannya sebanyak tiga kali pula :” Tetapi janganlah seperti yang Kukehendai, melainkan seperti yang Engkau kehendaki!” (ay.39,42,44). Pilihan ini sungguh didasari rasa cinta dan percaya bahwa Bapa tidak pernah akan meninggalkan Dia, pun ketika semua orang meninggalkan-Nya. Rasanya kidung Yesaya tentang hamba yang menderita pas untuk menubuatkan pilihan Yesus ini:
“Tuhan Allah telah membuka telingaku, dan aku tidak memberontak, tidak berpaling ke belakang. Tuhan Allah telah menolong Aku; sebab itu aku tidak mendapat noda. Aku meneguhkan hatiku seperti keteguhan gunung batu karena aku tahu bahwa aku tidak akan mendapat malu (Yesaya 50:40-7). Pilihan-Nya untuk tetap mengasihi Allah dan manusia membuat Dia merelakan seluruh kesetaraan-Nya dengan Allah dan mau mengenakan seluruh kemanusiaan kita, lengkap dengan seluruh takut dan ngeri di hadapan penderitaan. Inilah pilihan dasar Yesus, yang mesti jadi pilihan dasar kita semua. Dalam cakrawala cinta inilah kita layak merenungkan sengsara Tuhan di pekan yang agung ini.
Tiga kali pernyataan kesetiaan itu tentu bertolak belakang kelak dengan tiga kali penyangkalan Petrus. Kiranya fakta inilah yang betul-betul membuat Petrus kelak menangis tersedu-sedu setelah menyangkal Yesus (Mat. 26:75).
Getzemani memang tragis, perpisahan yang sungguh-sungguh tragis. Ia sudah membayangkan itu dan pantas jauh-jauh hari Ia mengingatkan ini: “Berjaga-jaga dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan” (Mat.26:41). Seruannya kepada Petrus untuk berjaga-jaga bersama-Nya selama sejam, diperuntukkan bagi anda dan saya pula justru kita selalu mempunyai peluang yang sama untuk tidur, lupa dan akhirnya meninggalkan Yesus. “Tidakkah kamu sanggup berjaga-jaga satu jam dengan Aku?”
Terlalu gampang rasanya menyamakan permintaan itu dengan pergi ke Katedral menyaksikan sebuah tablo indah tentang Jesus atau lebih dari tiga kali melihat the passion nya Gibson. Terlalu mudah kita menjawab pertanyaan itu dengan keyakinan-keyakinan kita seperti ini: “Ah..gue kan udah ngaku dosa di masa prapaskah; hampir setiap hari naik kereta listrik saya selalu ngasih duit sama yang ngamen; aku kan udah rosario …mau apa lagi? Jika kita punya keyakinan-keyakinan serupa ini, tidak lain hanya mau mengatakan bahwa memang kita sedang ‘tidur lelap’.
Berdoa, yang Dia minta, pertama-tama berarti mendengarkan. Dunia sekeliling kita terlalu sering membiasakan kita berbicara daripada mendengarkan. Ada bap-bip bup getaran HP dan mengundang kita terus bicara, apalagi lagi ada IM3 dengan tarif 0,01/detik. Belum lagi segudang acara dan setumpuk jadwal kerja kita yang setiap hari menunggu. Dan jika lagi collapse, kalah, kesepian, gagal dan sejenisnya kita cepat-cepat menuntut supaya Tuhan mendengarkan kita.
Mendengarkan tiada lain ikut serta dalam seluruh pengalaman kesepian tapi juga ketaatan-Nya. Mendengarkan berarti ikut memutuskan apa yang Ia putuskan: siap menderita dan mati untuk yang lain; agar sesama bertumbuh dan bahagia. Pilihan dasar-Nya mesti menjadi pilihan dasar anda, pilihan untuk mencintai sampai akhir.
Dia tidak menghendaki kita tidur sebelum waktu, berpuas diri sebelum sungguh melaksanakan kehendak Bapa. Maka di masa dan saat yang penting ini, kita mesti bertanya: apakah kita sudah sungguh mencintai? Sudah cukupkah? Kalau belum, itulah maksudnya permintaan “berjaga-jagalah!”, yakni supaya kita terus berkembang dan maju dalam mencintai. Kita selalu belum cukup untuk mencintai, tapi kita diminta terus mencintai sampai habis. Inilah kemenangan Paskah. Semoga menjelang Paskah dan untuk selamanya kita membiasakan diri untuk selalu berdoa dan berjaga-jaga bersama Yesus.
Love of My Life adalah judul lagu yang dilantunkan dan dipopulerkan grup musik legendaries Queen. Lagu itu berisi nestapa seorang yang ditinggalkan kekasihnyai sekaligus permintaan untuk kembali setia dan mencintai-Nya. Betapapun buruknya kesan anda tentang tampang atau tingkah laku musisi ini, toh mereka tetap membantu saya memikirkan keseriusan hubungan saya dengan Tuhan. Apakah aku sedang meninggalkannya? Ini pertanyaan penting juga buat anda. Selamat mempersiapka Paskah!

Love of my life don’t leave me,
You’ve taken my love, and now desert me,
Love of my life can’t you see
Bring it back, bring it back
Don’t take it away from me
Because you don’t know
What it means to me

Ronald,s.x.

Perempuan dari Kendal dan Persahabatan Kita

Di jalur III stasiun Senen, saya berdiri menunggu Senja Utama tujuan Yogyakarta. Beralaskan Koran saya duduk memperhatikan orang yang lalu lalang sampai seorang perempuan setengah baya, dengan setelan pakian berjilbab hijau daun menyapa saya: “ Ke Semarang ya? Perempuan itu ternyata tidak berhenti bertanya meski saya menjawab kalau tujuan saya ke Jogyakarta”…Dan kami malam itu sambil menunggu kereta yang membawa kami ke tempat berbeda, berbicara seperti sudah lama kenalan.
Perempuan itu dari Kendal, dan saat itu sedang dalam perjalanan pulang. Ia dan suaminya ke Jakarta untuk mengunjungi sanaknya yang sakit keras. Mestinya sudah seminggu sebelumnya ke situ, tapi karena Jakarta banjir yah…harus ditunda…Saya kagum, betapa kasihnya perempuan ini pada saudara/sanaknya…Meski sempat dihambat oleh kacaunya infrastruktur transportasi, dia sedapat mungkin mengunjungi si sakit.
Wajah perempuan yang ramah itu lekat-lekat terbayang saat saya merenungkan kisah persahabatan Yesus dengan Maria bersama kedua saudaranya, Marta dan Lazarus.(Yohanes 11:1-44) Yesus putar haluan – dalam perjalanan terakhirnya menuju Yerusalem di mana Ia akan mati – menuju Betania, rumah para sahabatnya itu, persis ketika Ia mendapat kabar bahwa Lazarus sakit. Dia pergi tidak semata mengobati rasa rindu, tapi Ia mengambil kesempatan ini untuk memuliakan Allah, dan mendorong para murid untuk belajar lebih percaya pada-Nya.
Dia pergi ke Betania yang dekat Yerusalem dan sadar penuh bahwa hidupnya terancam karena akses untuk membunuh Dia jauh lebih dekat di Betania ketimbang di daerah Yordan di mana saat itu dia berada (ay.8). Akan tetapi karena persahabatan dan kasihnya, dia memilih pergi juga. Kitab suci tidak menulis persisnya kapan persahabatan-Nya dengan Marta bersaudara dimulai. Yang jelas kita bisa mengikuti jejaknya dengan memperhatikan hubungan Yesus dengan Maria. Maria adalah perempuan berdosa yang terkenal di Yerusalem, yang datang meminyaki kaki Yesus, membasuhnya dengan air mata lalu menyekanya dengan rambut panjangnya yang terurai. Ini terjadi ketika Yesus lagi makan di rumah salah seorang Farisi (Lukas 7:37 dst.). Di situ, Maria disambut penuh cinta oleh sang guru. Namanya dipulihkan, dosanya diampuni. Dan saya sangat yakin, cinta dan persahabatan Maria dan Yesus dimulai di situ. Pengalaman itu tentu saja tidak hanya meninggalkan kesan mendalam bagi Maria, tapi juga bagi saudara-saudaranya. Maria hampir pasti menceritakan pengalamannya dan tentu saja memperkenalkan Yesus kepada Marta dan Lazarus.
Waktu Yesus tiba, Lazarus ternyata sudah mati dan sudah empat hari terbaring di kubur. Persahabatan-Nya diuji pertama-tama dengan fakta kematian itu. Orang-orang yang datang berkabung berujar: “Ia yang memelekkan mata orang buta, tidak sangupkah ia bertindak sehingga orang ini tidak mati?” (ay.37). Kepercayaan dan cinta-Nya pada para sahabat diuji terutama oleh pernyataan yang sama dari Maria dan Marta ketika Ia mendapati mereka: “Tuhan, sekiranya Engkau ada di sini, saudaraku pasti tidak mati” (ay.21 &39).
Pernyataan di atas adalah ungkapan kepercayaan keduanya pada kehadiran Yesus yang menyelamatkan. Akan tetapi pada saat yang sama kepercayaan tersebut memperlihatkan kerapuhannya. Seolah-olah daya keselamatan serta merta hilang ketika Yesus tidak hadir, tidak tinggal lagi bersama mereka. Hal yang serupa kita ingat terjadi pada para murid pasca kematian Yesus, termasuk Maria Magdalena yang dirundung hampir seribu duka. (Yoh.20:11)
Maka pantaslah dalam segala pengertian akan situasi Marta-Maria, Yesus bertanya pada keduanya: “Percayakah kalian padaku yang adalah kebangkitan dan hidup?” Yesus meminta mereka untuk mengikat hubungan cinta dan persahabatan mereka dengan kepasrahaan dan kepercayaan yang penuh pada-Nya pun ketika Dia tidak hadir, dia meninggalkan mereka dan kelak mati untuk mereka. Yang menyelamatkan tidak saja bentuk kehadiran fisik, tapi jauh dari itu Cinta Sejati Yesus yang Dia buktikan sampai di salib. Kelak iman akan kebangkitan Yesus, seperti yang cukup saya garisbawahi dalam permenungan-permenungan saya, adalah terutama kepercayaan bahwa Mustahil orang yang sedemikian mengasihi tanpa syarat seperti Yesus, mati selamanya; bukan hanya bersandar pada fakta kubur kosong yang terlalu menekankan kehadiran atau bukti fisik. Padahal Allah jauh melampaui itu.
Maria dan Marta yang sadar akan kerapuhan mereka, yang khilaf akan kelalaian membiarkan kesedihan mengaburkan keyakinan akan cinta Yesus, akhirnya memilih percaya pada-Nya: “Ya Tuhan, aku percaya, bahwa Engkaulah Mesias, Anak Allah, Dia yang akan datang ke dalam dunia.”(11:27) Dan kita tahu iman mereka dan cinta Allah sendirilah yang membangunkan Lazarus dari tidurnya yang panjang. Lazarus bangkit.
Yesus saat itu menandai persahabatan-Nya dengan Marta-Maria bersaudara dengan membangkitkan Lazarus. Lebih lagi, Dia mengajarkan sesuatu yang cukup penting bagi penghayatan persahabatan kita. Persahabatan menjadi tempat kita bisa memuliakan dan memperkenalkan Allah kepada banyak orang, jika persahabatan itu dilandasi oleh iman dan cinta yang tulus.
Cinta persahabatan yang tulus adalah pilihan untuk saling menumbuhkan dengan peduli, siap mengerti dan siap pula mengoreksi, bahkan siap menanggung semua perasaan yang tidak enak justru karena kita mau membantu sahabat kita tumbuh. Yesus melakukan ini agar Marta-Maria bersaudara tumbuh dalam iman dan kepercayaan otentik akan Dia. Secara halus ia menegur ketidakpercayaan mereka.
Cinta persahabatan yang tulus tidak harus memiliki, sebagaimana implisit dari permintaan Marta-Maria:”sekiranya Engkau ada di sini”…Bagi saya pernyataan itu adalah tuntutan agar Yesus mesti selalu ada, dan kalau boleh menjadi ‘milik’ mereka saja. Cinta persahabatan sejati ditandai dengan sikap tulus untuk menerima fakta bahwa sahabat kita tetap menjadi dirinya sendiri dan tetap tumbuh tanpa harus kuatir bahwa dia tidak lagi mencintai kita. Yesus kiranya meminta Marta-Maria memahami ini mengingat Dia diutus kepada banyak orang dan karenanya tidak harus selalu bersama mereka. Pun itu tidak berarti dia tidak mencintai lagi. Faktanya, Dia datang mengunjungi, meratap dan menangis bersama dan akhirnya memuliakan Allah dengan membangkitkan Lazarus. Yesus mau membuktikan bahwa tidak ada sesuatu pun yang memisahkan kita dari kasih dan persahabatan kita dengan-Nya, sekalipun itu kematian.
Percakapan saya dengan perempuan dari Kendal itu terputus ketika dia dan suaminya sadar bahwa mereka nyaris ketinggalan kereta. Rupanya kereta Senja Utama tujuan Semarang ada di Jalur IV, berhadapan dengan jalur III. Pertemuan yang sebentar itu bagi saya tetap penting. Saya ingat betapa tulusnya si perempuan. Dia menasihati saya supaya berhati-hati di jalan; “jangan terlalu sering ke toilet. Soalnya banyak penodongan terjadi di situ”, demikian dia mengingatkan saya.
Sampai sekarang ini dalam pengalaman hidup saya begitu banyak sahabat yang mengambil bagian penting dalam hidup saya. Saya bersyukur atas persahabatan yang diberikan Tuhan walau kadang siap menerima bahwa kadang-kadang persahabatan yang akrab seperti ‘berlangsung sebentar saja’ karena waktu dan karena banyak di antara para sahabat yang bersekolah dan mengadu nasibnya sendiri-sendiri. Tak jauh dari stasiun, dua tahun lalu saya sempat bersahabat dengan sekelompok anak yang lucu dan dekil yang tidur di gardu-gardu listrik; belajar dan bermain bersama mereka di madrasah, tempat yang menjadi segalanya bagi kami. Sekarang tempat itu sudah digusur pemprov DKI. Saya tidak tahu lagi di mana teman-teman saya itu. Terakhir saya dengan kabar bahwa mereka sudah dipindahkan…
Yah...memang kebersamaan dengan para sahabat bisa sebentar saja, seperti pengalaman saya dengan anak-anak ini, juga si perempuan dari Kendal. Tapi, saya rasakan dan tetap percaya bahwa cinta yang tulus yang pernah saya bangun bersama semua sahabat saya tidak sungguh memisahkan kami…Saya orang yang paling percaya, bahwa suatu waktu saya bisa bertemu dengan mereka. Ataupun kalau mustahil, cinta kami paling tidak berbuah indah yakni kebahagiaan. Tidak ada fakta lain yang membuat orang bahagia selain kebenaran bahwa mereka sungguh dicintai. Dan betapa saya menghendaki agar cinta dan persahabatan Yesus menjadi inspirasi dan pendorong cinta dan persahabatan yang sudah lama kita pelihara dengan orang-orang dekat kita. Semoga kita terus mewartakan Dia dengan persahabatan kita yang tulus.

Salam,

Ronald,s.x.

Bara Api Cinta

Bara Api Cinta
Gambaran tentang penghakiman terakhir tidak pertama-tama mengedepankan figur Allah sebagai penghakim dan eksekutor meskipun. Sebaliknya yang mau dikatakan adalah bahwa Allah yang sungguh mencintai kita, tidak mencintai kita secara buta; seolah-olah tidak peduli dengan apakah kita suka atau tidak suka, menolak atau mencintai Dia. Menolak Dia secara definitif samahalnya menolak untuk dicintai dan diselamatkan. Inilah arti neraka sesungguhnya. Sebaliknya, jika kita dalam segala kerapuhan, tetap mencintai Dia, kita mengalami surga yakni persekutuan kekal dengan-Nya. Maka saya lebih suka dengan istilah pengadilan terakhir (last judgement). Istilah ini lebih menunjuk pada kualitas puncak perjumpaan kita dengan Allah yakni bahwa Allah mencintai kita secara adil.
Kita adalah peziarah di dunia. Bagi kita orang beriman, peziarahan itu bukanlah pengembaraan tanpa tujuan dan makna; seakan-akan kita tidak pernah tahu apa yang kita tuju, apa yang kita cari. Sejatinya, kita berziarah menuju kebenaran, menuju perkembangan hidup kita yang paling penuh. Saya tertarik dengan apa yang digarisbawahi Paus Benediktus dalam ensiklik Spe Salvi. Di situ dia mengatakan bahwa pada dasarnya di kedalaman hati setiap manusia, ada hasrat dan kerinduan akan kebenaran walaupun betapa rapuhnya kita. Akan tetapi, dalam pilihan konkret hidup kita setiap hari, selalu kita berkompromi dengan kejahatan – yang kebanyakan membuat cinta kita tidak murni (cf.artikel 46). Misalnya, meskipun saya betul-betul mau memaafkan teman yang melukai hati saya, tapi tetap dalam hati kecil menuntut agar dia yang terlebih dahulu datang meminta maaf…Di balik pikiran semacam ini, kita pada dasarnya lebih menuntut dicintai daripada mencintai. Contoh lain, kita mengatakan sungguh mau melayani sesama dan memang cukup sering setiap bulan kita menyisihkan beberapa dari penghasilan kita untuk sumbangan dana kemanusiaan; atau sekali seminggu kita aktif di lingkungan. Akan tetapi, tidak jarang kita cukup sadar bahwa kita diam-diam minta diakui dan diperhitungkan. Inilah contoh betapa kita mencintai tidak murni.
Lalu apa jadinya kita -yang ‘tidak murni’ dalam mencintai ini- ketika berhadapan dengan Allah yang ‘mengadili’kita? Kita akan dimurnikan. Itulah jawabannya. Kita akan melalui ‘api yang memurnikan’. Rasul Paulus dalam arti kiasan mengungkapkan realitas ini dalam surat pertamanya kepada umat Korintus : “Hari Tuhan akan nampak dengan api dan bagaimana pekerjaan masing-masing orang akan diuji oleh api itu “ (1 Kor.3:13b). Selanjutnya dalam sejarah Gereja Katolik di Barat pada masa lampau, maksud Paulus ini secara salah kaprah dikembangkan dalam doktrin/ajaran tentang Purgatory atau Api Penyucian. Yang salah kaprah bukan namanya, melainkan kesan yang pada waktu itu timbul dan ditekankan. Saat itu realitas api penyucian lebih dititikberatkan pada soal tempat dan materi api daripada kualitas yang mau disampaikan dengan gambaran ‘api’. Kualitas yang dimaksud adalah pemurnian; cinta Tuhan yang memurnikan hidup kita.
Kita peziarah dan jalanan yang sudah lama kita tempuh telah banyak membuat tubuh kita kotor ‘berdebu, bau berkeringat’. Kita membawa semuanya itu, yakni ketamakan, iri hati, kepentingan diri, dengki yang sering membuat kita tidak mencintai dengan sungguh.
Api itu adalah Kristus sendiri yang telah mencintai kita sehabis-habisnya. Paus mengatakan bahwa “api kasih itu membakar sekaligus menyelamatkan; meninggalkan perih tapi perih cinta (a blessed pain). Perjumpaan dengan Kristus mentransformasi dan membebaskan kita dan menyempurnakan cinta kita yang rapuh sehingga kita betul-betul menjadi diri kita dan total menjadi milik Allah. Itulah arti keselamatan". Kita dimurnikan oleh kasih-Nya yang tanpa batas sehingga kita betul-betul bersatu dengan Allah.
Dan akhirnya, menyambung apa yang sungguh digarisbawahi bapa suci, pengadilan terakhir akhirnya adalah saat pemenuhan pengharapan kita. “Sebab pengadilan itu merupakan rahmat dan pada saat yang sama juga perlakuan Allah yang adil. Allah yang menjadi manusia dalam diri Kristus menyatukan kedua hal tadi yakni keadilan dan rahmat” (art.47). Dia datang mengusahakan dan mengundang kita mengerjakan keadilan di bumi seperti di dalam surga. Inilah alasan kenapa kita mesti memperjuangkan keadilan hingga saat ini. Di pihak lain, dengan rahmat cinta-Nya, Dia memungkinkan kita berharap bahwa Allah tetap mau menerima dan memurnikan kita dengan cinta-Nya meski kita tidak sungguh mencintai, tidak sungguh mengusahakan keadilan. Trims sekali lagi untuk Yvonie, yang mengilhami semuanya ini….Semoga dalam banyak hal kita semua terus bertekun untuk dari hari ke hari makin murni mencintai.
Saya yang selalu mendoakan anda semua!

ronald,s.x.


NAMAKU GRACE – soal reinkarnasi

Baru-baru ini, vontharia, salah satu rekan kita di multiply ini mengajukan pertanyaan yang cukup serius perihal reinkarnasi. Apakah itu sungguh-sungguh terjadi, percayakah kita akan hal itu? Seperti apakah rupa kita nanti setelah kehidupan pertama? Apakah jadi anjing? Agnes Monica? Madonna, atau barangkali jadi Hitler, ular?, dst..nya.
Pertanyaan semacam ini adalah pertanyaan soal hal-hal akhir/the last things, tentang after life/keadaan hidup setelah mati, dan mungkin juga soal nasib/destiny kita.
Pandangan reinkarnasi umumnya dianut oleh saudara/i kita yang berkeyakinan Budhis, termasuk mereka-mereka yang mengaku penganut new age religion. Pandangan reinkarnasi tidak lepas dari konsep tentang waktu dan sejarah. Mereka yang percaya pada reinkarnasi melihat waktu bersifat siklis dan sejarah sebagai pengulangan peristiwa-peristiwa yang sudah terjadi. Maka konsep tentang masa depan/future dan kebaruan/newness tidak terlalu mendapat penekanan. Tulisan ini tidak bermaksud menyangkal pandangan mereka, melainkan berusaha mempertanggungjawabkan bagaimana pandangan iman kita sebagai orang Kristiani, termasuk penghayatan kita tentang waktu dan sejarah.
Pandangan kita tentang waktu dan sejarah sedikit banyak dipengaruhi oleh pandangan orang Yahudi yang melihat waktu berjalan linear, maju dan terarah ke masa depan. Waktu dan sejarah berawal dari satu titik dan berakhir mencapai kepenuhannya pada titik yang lain. Titik berangkat bagi mereka adalah penciptaan dan keterpilihan mereka sebagai umat Allah lalu berakhir pada apa yang mereka sebut sebagai Yerusalem Baru di mana Allah datang menebus dan memulihkan penderitaan Israel.
Sementara kita menambah penekanan lain di dalamnya. Kesempurnaan ciptaan dirusak oleh dosa dan kejahatan kita manusia. Kematian dan maut menjadi hukuman atas manusia karena pilihannya untuk menolak Allah (digambarkan dalam dosa Adam-Hawa). Oleh kejahatan dan dosa itulah manusia menderita dan pada saat yang sama mendambakan penebusan. Bagi kita, dambaan akan penebusan dan pemulihan ciptaan terpenuhi dalam diri Yesus Almasih. Dalam Dialah, Allah turun sendiri ke dalam sejarah manusia untuk ikut menanggung penderitaan kita dan menebusnya lewat kematian Sang Putra di salib. Dengan kebangkitan-Nya kita memperoleh jaminan dan pengharapan baru yakni anugerah kebangkitan dan hidup kekal. Hidup kekal itu adalah hidup dan realitas yang sama sekali baru, persekutuan bersama Allah. Di dalam hidup baru itu, seluruh ciptaan dan sejarah dipulihkan. Pendek kata, penghayatan kita atas sejarah bisa dilukiskan dalam paradigma berikut: penciptaanà dosaà penebusan à pemulihan ciptaan.

Perlu digarisbawahi apa yang saya katakan, hidup kekal adalah realitas yang sama sekali baru dan lain dari hidup yang kita alami. Untuk memahami itu, mari kita kembali kepada soal kematian yang dikatakan sebagai konsekuensi dosa dan kejahatan manusia (bdk. Roma 5:12-14). Kematian menjadi fakta alamiah yang harus semua kita alami. Dalam kematian seolah-olah seluruh masa depan berakhir dan hidup tak punya makna lagi. Kemungkinan sesudahnya tidak ada lagi.
Akan tetapi dalam Kristus dan dalam iman pada-Nya, kematian bukanlah fakta akhir yang menghabiskan segala kemungkinan dan makna; melainkan sebuah lompatan pada hidup baru berkat kebangkitan Yesus sendiri.
Kematian memang perlu sebagai tanda akhir dari perjalanan manusia. Dengan adanya akhir, kita bisa melihat hidup kita lengkap. Dan seperti yang pernah saya kemukakan dalam tulisan-tulisan saya sebelumnya, kematian membuat hidup kita seolah-olah ada deadline nya, yang selanjutnya menuntut kita untuk menghayati hidup sekarang ini dengan bertanggung jawab.
Yesus sendiri menjadi model bagi kita untuk menghadapi kematian. Dia menghadapi kematiannya dengan tenang dan dalam kebebasan. Lebih lagi, meski bisa saja Dia lari (peristiwa Getzemani) atau turun dari salib (saat digoda prajurit), tapi Dia memilih taat dan dalam sakitnya maut Dia memilih mencintai dan mempercayakan diri pada Allah Bapa-Nya.
Dengan kematiannya pula, kematian dan maut itu sendiri dikalahkan dan dilampaui, justru karena pilihannya untuk terus mencintai (bdk. 1 Kor 15:25-26). Dia mengajarkan kita bagaimana merampungkan hidup kita sampai pada deadline nya, yakni dengan cinta dan penyerahan diri.
Dengan kematiannya, Yesus bisa mewujudkan apa yang Dia janjikan pada kita – Roh Kudus (“ Aku akan memberikan kalian, penolong yang lain, bdk. Yohanes 14:15-31). “Ke dalam tanganMu kuserahkan Roh ku”(Lukas 23:46) adalah pernyataan terakhir Yesus di salib yang sekaligus pernyataan penganugerahan hidup kekal bagi kita semua. Maka di sini saya mau katakana bahwa hidup kita dan seluruh masa depannya adalah total anugerah cinta Allah sendiri. Karena itu, layaklah jika kita menamakan diri kita masing-masing anugerah, grace, gratias, gradus, dst..
Kita mengimani masa depan kita sebagai persekutuan kekal dengan Allah dan kita mengalami anugerah kebangkitan badan (Rm. 2:7; g:23). Dengan babtis, kita mati dan bangkit bersama Kristus (Rm.6:4).
Pemulihan kehidupan ditandai dengan penghakiman. Allah mengadili kita dengan adil seturut perbuatan kita. Gambaran tentang penghakiman terakhir bukanlah gambaran yang menakutkan tentang teror dan eksekusi tapi justru gambaran tentang harapan. Dengan indah Paus Benediktus XVI dalam ensiklik spe salvi menegaskan bahwa gambaran tentang harapan (an image of hope) adalah gambaran yang mengundang tanggung jawab, gambaran tentang ketakutan yang – dalam bahasa St. Hilarius – mendapat tempatnya dalam cinta. Allah itu maha adil dan dialah yang menciptakan keadilan. Dalam keadilan itu ada rahmat. Hubungan keadilan dan rahmat/grace mesti dipahami dengan tepat. Rahmat tidak menggantikan keadilan; tidak membenarkan yang salah atau membuat yang benar jadi salah (bdk. Spe salvi, p.20-21). Allah mencintai tidak dengan mata buta, tapi dengan keadilan.
Dengan kematian, pilihan hidup kita menjadi pasti atau definitif termasuk segala konsekuensinya. Mereka yang sampai akhir berkomitmen memilih kejahatan akan menjauh dari pemulihan dan rahmat Allah; kerusakan dan kehancuran yang mereka timbulkan bagi diri mereka sendiri tidak dipulihkan. Inilah yang paling pas kita sebut sebagai neraka.
Dalam perumpamaan tentang orang kaya dan Lazarus yang miskin, Yesus mengingatkan kita akan gambaran tentang jiwa yang dirusak oleh kesombongan dan ketamakan. Paus Benediktus mengatakan bahwa perumpamaan ini tidak mengacu pada nasib akhir manusia setelah penghakiman terakhir, tapi lebih merepresentasikan gambaran tentang penyucian (bdk. Spe salvi, p.21). Tentang api penyucian akan saya ulas dalam tulisan selanjutnya (Bara Api Cinta).
Akhirnya, pertanyaan tentang apakah kita mesti percaya pada reinkarnasi, dengan sendirinya terjawab. Bagi iman kita orang Katolik, tidak ada keyakinan macam itu. Kita percaya pada rahmat dan sekaligus bertanggung jawab setiap saat atas pilihan hidup kita. Kita tidak menjadi makhluk lain, jadi ini atau itu. Tidak. Kita tetap menjadi diri kita dalam arti yang paling penuh dan sempurna justru karena kasih Allah. Saya akan tetap menjadi Ronald dan anda tetap menjadi diri anda sepenuh-penuhnya karena Dia.
Berulang kali saya menegaskan bahwa Allah sungguh mencintai kita sampai ia membiarkan kita bebas untuk menolak atau mencintai Dia. Dan kita bertanggung jawab atas setiap pilihan itu. Mari merayakan terus kebenaran ini, bahwa nama kita adalah anugerah dan kita mau mewartakannya dengan terus berbagi kasih kepada sesama yang lain. Terima kasih pada Yvonie/vontharia atas pertanyaan-pertanyaannya yang inspiratif. God grants you the best!

Salam,

Ronald,s.x.


KULIHAT PELANGI – tentang pengharapan

Ini kisah pengalaman yang hampir lupa saya ceritakan, padahal paling berkesan di hati dan ingatan. Saat boat yang kami tumpangi menuju Sikabaluan melewati setiap gelombang tinggi yang berlapis-lapis, nyali yang sedari awal ciut mulai tenang ketika saya menatap lekat-lekat pak Pir dan Immanuel, sopir boat yang dengan wajah basah kuyub tetap tersenyum meyakinkan kami bahwa semuanya akan aman-aman saja meski jelas-jelas pantat perahu berbunyi keras ketika menghentak di atas permukaan laut. Sempat juga saya memikirkan yang bukan-bukan…”andai hidup kami berakhir di sini, apa jadinya? Dua sampai tiga kali kami harus memutar haluan boat memasuki perairan di pulau-pulau kecil untuk menghindari gelombang yang besar. Menurut Wira, teman saya…ini selalu dilakukan setiap kali mereka berhadapan dengan gelombang tinggi. Tetapi setiap kali keluar lagi dari pulau-pulau kecil itu dan kembali ke laut lepas, rasanya keder lagi..
Di antara nyali yang masih keder dan juga kepercayaan bahwa everthing gonna be okay saya baru menyadari bahwa ada pelangi yang tergambar jelas di laut, cekung dan seolah-olah terus bergerak mengikuti boat kami. Rasa takut yang berlebihan membuat saya tidak menyadari betapa indahnya pelangi, sebuah realitas yang bagi saya tidak cukup dijelaskan sebagai realitas fisis saja. Saya memilih melihatnya sebagai tanda kehadiran dan penyertaan Tuhan bagi kami. Saya percaya Tuhan menyediakan akhir yang indah bagi hidup saya….Kalaupun hidup saya berakhir di situ, saya tetap ditemani…Pelangi yang memantul jelas di laut yang biru hari itu meyakinkan saya bahwa iman adalah pilihan yang selalu dirayakan dan diperbaharui setiap saat. Mempercayakan diri kepada seorang pribadi yang menyambut dan menerima kita tanpa syarat sangatlah membahagiakan. Dan saya kemudian merasa tidak pernah selama hidup setenang ketika duduk di atas boat memandangi terus pelangi, memainkan jemari saya pada air laut dan memperhatikan kawanan burung yang berputar-putar mencari ikan.

Merenungkan kembali pelangi, saya malah makin mengerti apa artinya pengharapan. Harapan yang saya maksud tidak sama dengan harapan seperti ketika mengharapkan gaji atau pangkat yang naik; tidak sebanding pula dengan keinginan untuk mendapatkan jejaka ideal dst..nya. Harapan tidak sesederhana perwujudan yang belum tuntas dari penjumlahan keinginan-keinginan kita walaupun kita tetap bisa mendefiniskannya demikian. Erich Fromm pernah nulis bahwa berharap berarti siap selalu menanti saat keinginan kita terwujud, dan tidak menjadi patah arang ketika keinginan itu tidak berhasil diwujudkan.
Hope means to be ready at every moment for that which is not yet born, and yet not become desperate if there is no birth in our lifetime.
Lalu apakah itu berarti kita akan terus tinggal dalam kabut ketidaktahuan? Arti pengharapan seperti ini tidak cukup memuaskan kita. Kita bisa tetap terus mengajukan pertanyaan, lalu apa yang bisa tetap menjamin bahwa kita tetap tidak patah arang? Bukankah harus ada sesuatu yang tetap menjamin bahwa harapan itu bukanlah harapan yang palsu?

Menghadirkan lagi ingatan saya akan pelangi, membantu saya untuk yakin bahwa jaminannya adalah janji. Harapan selalu bersanding dengan janji. Dan untuk memahami janji/promise, kita mesti sadar bahwa harapan sejatinya adalah buah relasi, buah perjumpaan dengan Allah - pribadi yang mengasihi kita tanpa syarat. Jadi bukan buah dari keinginan-keinginan kita. Harapan menjadi palsu justru karena harapan itu sebenarnya adalah proyeksi kebutuhan-kebutuhan dasar-egoistik kita akan makan, minum, rasa aman, sukses, dst. Kita putus asa, dan bisa gantung diri ketika tidak mendapatkan semua itu juga justru karena dasar harapan kita lebih pada kebutuhan untuk survive; bukan pada relasi kita dengan Allah di mana akhirnya kita bukan lagi survive tapi mau menyerahkan dan mempercayakan diri pada Sang Maha Cinta.
Harapan bukanlah terbatas pada kerinduan akan hidup yang lebih baik, hidup kekal dan seterusnya. Jauh lebih dari itu, harapan mendorong kita menemukan bahwa dalam keadaan sesulit apa pun sekarang ini - sebagaimana halnya ketakutan-ketakutan saya di atas perahu - janji Yesus bahwa “Aku menyertai kalian sampai akhir zaman” (Mat.28:20), bukanlah janji palsu. Dan pelangi yang saya pandangi hari itu memang mengigatkan saya akan kebenaran ini.
Kita ingat bagaimana Maria Magdalena disapa begitu personalnya oleh Yesus ketika ia masih larut dalam kesedihan karena kematian sang Guru. Saya yakin Tuhan yang sama, yang karena cintanya telah menderita, wafat dan bangkit, memanggil kita, anda dan saya, masing-masing dengan nama kita…Fitri, Glenn, Montie, Ignaz, Vea, Rita, Jonal, dst… Harapan itu mengajak kita terus berikhtiar menemukan bahwa sejak sekarang sebuah dunia baru sudah hadir justru karena kita tetap memilih untuk percaya, memilih untuk berharap dan akhirnya memilih mengasihi tanpa syarat sebagaimana Dia yang telah menderita dan wafat mencintai kita.
Di atas boat yang akhirnya membawa kami dengan selamat ke Sikabaluan saya mensyukuri semua pengalaman ini, mensyukuri anugerah panggilan Tuhan untuk masuk dalam barisan para pencinta yang mau mengubah dunia ini menjadi satu keluarga. Pelangi itu hilang bersamaan dengan air biru yang berganti cokelat ketika kami memasuki muara Sikabaluan… yah…Tuhan sekarang menjadikan saya dan tentu saja anda yang membaca ini pelangi-pelangi lain yang mau membawa pengharapan bagi orang lain.

Saya yang selalu mendoakan anda di masa prapaskah ini

ronald

“Janganlah kamu berdukacita seperti orang-orang yang tidak mempunyai pengharapan” (I Tesalonika 4:13b)

Blogger Template by Blogcrowds