Mummy dan Hasrat kita akan Keabadian

Saya menonton film ini di Cilandak Town Square bareng lima teman saya. Kita telat dapat tiketnya sehingga dapet tempat duduk yang paling depan. Film yang nampaknya dibuat dengan biaya mahal – teknik sinematografi, animasi kelas wahid – ini dan yang mengisahkan petualangan menakutkan sebuah keluarga arkeolog langsung mengingatkan saya akan petualangan Indiana Jones. Indiana dulu adalah novel dan komik yang usang karena terlalu sering berganti tangan dari teman yang satu ke teman yang lain.

Mummy dari para kesatria China yang mati berabad-abad lalu hidup kembali dan berusaha mengambil sejarah yang kini dihidupi tiga keluarga arkeolog tadi dan juga kita semua yang menyaksikannya sambil makan pop corn.
Shangrila, kota keabadian, nirwana yang mempesona berlomba-lomba untuk diperebutkan. Siapakah yang berhak akan keabadian?

Dan Mummy, meski hampir menghilangkan batas yang ilmiah dan fantastis adalah cerita tentang kita yang selalu bertanya: betulkah hidup kita berakhir begitu saja? Benarkah kita ada tanpa untuk apa-apa? Dan Mummy yang mengibur kita ini seperti menggemakan keyakinan dan kerinduan kita akan keabadian. Mustahil hidup yang indah ini, peran baik yang pernah kita mainkan di dunia ini berakhir tanpa arti. Lalu apakah ada kenyataan obyektif di luar diri kita yang menjamin bahwa memang hidup kita abadi? Itu yang tidak diperlihatkan The Mummy, Tomb of Dragon. Andalah yang perlu merenungkan itu setelah keluar dari Twenty One.

Bagi kita, jaminannya adalah Tuhan sendiri. Janji itu dekat dengan harapan. Kita hanya bisa berharap kalau ada janji dan kita seperti diikat oleh janji itu. Dan janji itu ada kalau ada yang memberinya. Kisah Injil hari ini yang berisi lagu pujian Maria adalah pernyataan paling jelas bagaimana seorang beriman seperti Bunda Maria mengalami hidupnya dijamin sepenuhnya oleh Tuhan.

….orang yang berkuasa diturunkan-Nya dari takhta, yang hina dina diangkat-Nya.Inilah harapan wanita sederhana bernama Maria, harapan yang sebelumnya sudah lebih dulu dipertaruhkan dengan memilih mengatakan Ya pada rencana Allah untuk melalui rahimnya melahirkan Yesus. Pesta peringatan Bunda Maria Diangkat ke surga adalah pesta iman yang bagi saya mustahil dilepaskan dari arti tadi. Maria menerima dan mengizinkan Allah, Sang Hidup lahir di hati dan di rahimnya, menyambutnya dengan murni hati. Maka tentulah dia mengalami ke-Allahan dalam kepenuhannya, termasuk keabadiannya itu. Terangkatnya Maria ke surga seutuh-utuhnya adalah anugerah istimewa Allah berkat keterbukaan Maria menerima Allah sepenuh-penuhnya dalam hidup.
Ia yang merasa tak pantas karena kehinaannya akhirnya meyakinkan kita bahwa Allah sedemikian mengasihi kita hingga mau lebih hina dari kehinaan kita dan karenanya sungguh menjamin kita yang hina dina, kita yang lemah dan menderita, terutama kita yang mengasihi-Nya ikut diangkatnya.

Ronald,s.x.

Blogger Template by Blogcrowds