Maaf, baru sekarang renungan ini hadir lagi di mailbox anda. Lebih sebulan saya banyak menghabiskan waktu di perjalanan, dari Indonesia menuju Kemerun, Afrika Tengah. Dari benua hitam ini saya akan tetap menuliskan buah-buah refleksi untuk anda.
Ketika sempat singgah di Roma dan mengunjungi Musei Vaticani, saya mengabadikan lukisan salib karya Salvador Dalli ini. Yesus terpaku mati di salib sementara kelihatan dari jauh seorang prajurit yang mengeksekusi Dia pergi menjauh. Tubuh Yesus seperti dibuat dengan perspektif dominan – kelihatan sedikit menyembunyian salib yang menopang-Nya.oleh pelukis ini, mungkin dengan maksud kita menangkap makna tubuh itu. sampai-sampai hampir menyembunyikan salib yang menopang-Nya.
Mengamati lukisan ini saya tergerak untuk terus menggali kekayaan misteri salib.
Betulkah salib hanya sebuah ingatan tentang korban? Cukupkah salib hanya pratanda kasih Allah yang tak terbatas – hingga Ia rela ‘mati’ di tengah kita? Atau salib juga bicara tentang satu fakta yang sangat manusiawi dan hakiki tentang hidup manusia?
Sebelum meninggalkan Indonesia, saya masih melihat berita tentang eksekusi beberapa penjahat kelas kakap, juga rencana eksekusi pelaku bom Bali. Bahkan Metro TV sempat menghadirkan dalam sebuah talkshow korban selamat bom Bali yang menuntut agar eksekusi terhadap Amrozi dkk., segera dilakukan. Bisa dimaklumi kenapa permintaan hukuman mati begitu gencar khususnya bagi mereka yang melakukan pembunuhan orang-orang tak berdosa? Yang melakukan kejahatan bagaimanapun harus dihukum seberat-beratnya. Itu logika dalam hukum positif. Tapi apakah hukuman mati selalu jadi keharusan?
“Bapa ampunilah mereka sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” adalah kata-kata pengampunan Yesus untuk mereka yang membunuhnya. Kata-kata ini jelas tidak pernah membenarkan pembunuhan, tidak juga ungkapan seolah-olah Yesus senang menderita. Mungkin juga banyak di antara kita yang terlanjur percaya bahwa Yesus wajar mengatakan itu karena Dia anak Allah. Jadi Ia harus mengampuni. Betulkah? Bukankah kata-kata itu keluar bersama seluruh perih dan jerit sakit Tuhan? Anda bisa memeriksa Injil dengan seksama. Kata-kata itu bagi saya, adalah sebuah pemberontakan terhadap mereka yang berusaha menghilangkan nyawa manusia.
Anda tahu salah satu kenyataan hakiki kesadaran manusia ini: manusia sadar bahwa ia akan mati tetapi sekaligus dia juga menolak untuk mati. Tak satupun orang normal yang ingin mati. Kesadaran ini kita kenali sebagai sakrat maut, kegelisahan menjelang mati. Kegelisahan ini dialami Yesus sebagai manusia dalam rasa sakit yang amat sangat dan dalam detik-detik terakhir hidupnya.
Pilihan untuk mengampuni memang sudah menjadi komitmen Yesus, bagian dari seluruh misinya. Akan tetapi, Yesus sadar sebagai anak, sebagai manusia, pengampunan hanya berasal dari Allah; hanya Allah yang bisa mengampuni kejahatan sebesar itu. Yesus tidak berkata “Aku mengampuni kalian yang membunuh aku”, tapi Dia minta kepada Bapa untuk mengampuni. Kemanusiaan kita rasanya tidak pernah sanggup mengampuni kejahatan yang justru merenggut habis kemanusiaan kita. Jelas juga bahwa; kita tidak pernah bisa mengampuni sendiri; tapi selalu bersama Allah. Sebab pengampunan itu berasal dari Allah dan Allah sendiri adalah pengampunan. Dia adalah sang kasih.
Paling-paling yang kita sanggupi adalah memaafkan. Maaf dan ampun adalah dua hal berbeda, meski tidak bisa dipisahkan. Pengampunan adalah penerimaan tanpa syarat, sementara maaf sifatnya bersyarat. Setelah dua atau tiga kali perbuatan yang menyakiti kita dilakukan, kita biasanya pikir-pikir lagi untuk memafkan. Kakek kandung saya dibunuh oleh salah seorang sanak kami. Sanak kami itu kemudian tidak pernah berhasil dalam hidupnya, keluarganya hancur dan ada anaknya yang cacat. Pasti ia dikutuk, demikian kami terlanjur percaya. Dan lihatlah betapa, mengampuni itu sulit. Itulah yang selalu mesti kita minta pada Tuhan setiap kali kita disakiti, diperlakukan tidak adil dan mungkin dibunuh.
Setiap orang yang mohon rahmat pengampunan akhirnya pada saat yang sama menolak setiap usaha untuk menghakimi, dan terutama dengan tegas menolak segala bentuk penghilangan nyawa manusia. Mengampuni adalah pernyataan ya pada kehidupan, pemberontakan terhadap hukuman mati seperti yang dipancarkan oleh salib.

Yang menolak hukuman mati

ronald


Blogger Template by Blogcrowds