Kunang-kunang dan permata pengampunan

Begitu mudah menemukan kawanan kunang-kunang yang bersinar indah di halaman rumah kami di Kamerun, lebih-lebih ketika ada giliran listrik mati di malam hari. Satu dua kali saya berhasil menangkapnya, dibuat mainan sebentar sebelum melepaskannya kembali. Kunang-kunang, binatang kecil dan rapuh tapi sangat penting perannya. Bagi orang-orang di kampung di mana listrik masih jarang, cahaya kawanan kunang-kunang tentu saja memberi keuntugan saat berjalan di malam hari. Kunang-kunang masih penting meski sekarang adalah abad listrik. Di indonesia pun, sudah ramai diskusi dan ribut-ribut soal listrik masa depan bertenaga nuklir. Ia bercahaya di tempat yang gelap.
Saya memikirkan binatang sederhana ini ketika merenungkan kisah penyembuhan orang lumpuh (Mrk.2 :1-12). Seorang lumpuh terbaring pada tilam digotong empat menuju rumah di mana Yesus berkumpul bersama orang banyak. Empat orang ini rasanya mengingatkan kita akan apa yang sudah saya tulis dalam kisah sebelumnya, Atillo :mengejar cinta sampai ke neraka. Di situ saya menggarisbawahi iman sesama, iman orang-orang dekat ikut membuat penyembuhan itu mungkin. Namun kali ini, kunci cerita terdapat pada debat penting ini. “Manakah lebih mudah mengatakan, dosamu sudah diampuni atau mengatakan bangunlah, angkatlah tilamu dan berjalanlah?”...demikian pembelan Yesus di hadapan penghakiman para ahli Taurat yang dalam hati mereka menuduh Yesus menghujat Allah. “Siapakah yang berhak mengampuni dosa kalau bukan Allah sendiri?”, begitu para ahli Taurat menuduh Yesus sewaktu ia mengatakan pada orang lumpuh tadi, “anakku dosamu telah diampuni”. Ini dikatakan-Nya setelah melihat iman orang lumpuh dan keempat orang yang membawanya pada Yesus..
Dua-duanya sama-sama sulit dan mustahil bagi para ahli Taurat. Jika mereka mengatakan yang lebih mudah adalah yang pertama, mereka justru melakukan apa yang mereka tuduhkan pada Yesus. Bentuk kalimat pasif, dosamu sudah diampuni mengacu pada Allah yang berkuasa melakukannya. Mengatakan yang kedua lebih mudah, jelas jauh dari kesanggupan real mereka dan tentu saja dikuti pembuktian bahwa mereka bisa melakukannya. Yang kedua dari sudut pembuktian memang jauh lebih sulit. Lebih mudah bilang dosamu sudah diampuni sebagai kata-kata peneguh dan pelipur lara. Kita bisa menelusuri indahnya jalan pengampunan dari debat sulit ini.
Setelah konflik serius dengan seseorang, mengharapkan pihak yang bersalah datang minta maaf pada kita, merupakan sesuatu yang normal bukan? Ini sebuah etika pergaulan sosial yang kita temukan di kebudayaan mana saja. Dan semua tahu dan setuju bahwa hanya jika orang yang bersangkutan datang langsung pada kita, barulah kita bisa memaafkan. Akan tetapi, hal ini tidak mudah, apalagi seringkali masing-masing orang merasa dirinya yang paling benar. Konflik berlanjut perang dingin, kedua pihak merasa diri benar. Dan tidak sedikit yang selanjutnya menyerahkan urusan pengampunan pada Tuhan. “Ah peduli amat, mau buang muka kek, mau kancing mulut kek, gw tetap benar…Dan betapa bukan hanya di Gaza ada perang, tapi di rumah, di cantor, tempat verja, di sekolah. Memang lebih mudah, dalam doa kita meminta Tuhan mengampuni orang yang bersalah (menurut kita yang benar) pada kita, daripada dengan jujur mengaku dalam setiap konflik selalu juga ada bagian yang salah dari diri kita - yang membuat konflik tercipta (bisa- lalu pergi meminta maaf pada yang bersangkutan. “Maaf atas kejadian tadi”.
Dosamu sudah diampuni memang benar mau mengatakan bahwa Tuhanlah yang paling pantas mengampuni, Dialah sumber pengampunan. Kalimat, yang menurut orang Yahudi, tabu ini, diucapkan Yesus justru karena melihat iman orang lumpuh dan orang-orang yang menggotongnya. Ia mengucapkannya di tengah kepercayaan bahwa penyakit identik dengan dosa dan kutuk.
Yesus ‘melanggar’ tabu tidak hanya dengan mengucapkannya tapi juga menunjukkan bahwa Ia punya kuasa untuk mengampuni. Dengan menyembuhkan si lumpuh, Yesus membuktikannya. Jika orang lumpuh saja bisa disembuhkan, apalagi mengampuni dosa. Kuasa itu diterimanya dari Allah sendiri. Dua tindakan Yesus ini sekaligus menghancurkan tabu religius Yahudi, bahkan juga ‘tabu kita’ bahwa mengampuni itu urusan Allah. Dengan mengatakan dosamu sudah diampuni Yesus mau menegaskan bahwa pengampunan bukan sesuatu yang kosong, tak teraba, hanya tinggal dalam kepercayaan intelektual, melainkan nyata karena Dia sendiri yang mentransmisikan, menyalurkannya dengan menegaskan itu di hadapan si lumpuh. Dialah mediator, perantara kita dengan Allah.
Dengan tidakannya itu jelas bahwa pengampunan adalah anugerah Allah yang pantas dan harus kita transmisikan pada yang lain. Bagaimana mungkin kita minta pada Tuhan mengampuni orang sementara kita tidak secara nyata apalagi terlebih dahulu mengampuni atau meminta maaf pada orang yang kita doakan? Pengampunan itu nyata dan harus nyata sebagaimana yang ditegaskan Yesus dengan menyembuhkan si lumpuh; harus senyata seperti mereka (para ahli Taurat) melihat orang lumpuh itu berjalan. Di sinilah jembatan antara kata-kata pengampunan dan peristiwa penyembuhan si lumpuh.
Karena pengampunan itu sedemikian nyatanya maka wajar bila hati kita selalu tidak pernah lapang seperti sebelumnya jika kita belum sungguh mengampuni. Mata kita tidak memandang seluas dan secerah sebelumnya; senyum tak selebar dan senatural sebelumnya ketika kita belum menyapa sahabat kita. Pengampunan itu adalah anugerah Tuhan yang terindah. Karena diampuni (oleh Tuhan) dan mengampuni, hidup kita seperti permata yang baru saja dimurnikan, bersinar dan bercahaya. Pengampunan itu memurnikan hidup kita. Semoga keindahan inilah yang kita pancarkan dalam hidup kita sehari-hari, menjadi cahaya bagi dunia yang gelap di mana pengampunan masih selalu sulit. Jadilah kunang-kunang dan permata indah untuk yang lain.

Ronald,
Yaoundé, feb 09

Cinta Seorang Bisu

Cinta Seorang Bisu
Dalam sebuah wawancara dengan Radio France International, Anggun C Sasmi, diva Indonesia yang mulai populer di daerah Francophone, berbagi cerita tentang petualangannya sampai ke Paris. Dengan aksen Perancis Parisien, anggun menjawab pertanyaan yang diajukan penggemar padanya. Satu di antaranya yang mengesankan saya adalah ketika ditanya bagaimana mengungkapkan je t’aime dalam bahasa Indonesia. Anggun dengan manis menjawab, tentu saja, aku cinta padamu...Namun, bagi Anggun, tetap ekspresi Perancis itu jauh lebih dalam, lebih kompleks dari kalimat indonesia tadi untuk mengatakan dalam mengungkapkan cinta, bahasa perancis jauh lebih mendalam. Anggun bisa benar, tapi bisa juga berlebihan. Saya hanya tersentak.
Tetap bagi saya, aku cinta padamu, tetap tak tergantikan maknanya oleh bahasa apa pun. Terserah kata orang misalnya Perancis adalah bahasa yang paling romantik. Saya tak tahu apa anggun percaya itu. Meski isi, maksud atau ide bisa selalu sama, tapi bahasa tetap mewakili pengalaman subjektif setiap orang yang memilikinya, yang lahir dan besar dengan bahasa itu. Bahasa seperti membawa serta padanya semua darah dan daging kita yang hangat, hati dan emosi kita. Maka bahasa tidak hanya menampilkan sebuah ide, tapi mewakili hampir seluruh subjektivitas kita, untuk tidak mengatakan bahasa identik dengan subjek, dengan manusia. Bush segera dilupakan orang-orang Amerika karena semua orang tahu dia ingkar janji. “Aku cinta padamu” dalam pengalaman hidup saya hingga sekarang lebih dari sebuah pernyataan, lebih dari bahasa; telah hidup sebagai tindakan yang sungguh menjadikan saya, memungkinkan saya ada dan bertumbuh: tindakan dari orang-orang dekat.
Maaf sedemikian seriusnya saya. Di hari Valentine ini saya teringat paman saya yang bisu sejak lahir. Ia menikah dengan seorang perempuan mengagumkan, ipar saya, dan dikarunia lima orang anak. Saya ingin bercerita tentang keuarga bahagia ini, tentang ipar saya yang jatuh cinta pada seorang bisu. Setiap kali liburan ke kampung halaman papa, saya lebih suka tinggal di rumah petani sederhana ini. Dan saya tak pernah bosan mengagumi betapa cinta itu nyata dan hidup. Saya selalu heran bagaimana putra bungsunya yang masih tiga tahun bisa berkomunikasi dengannya, dengan isyarat tangan dan gerakan kepala. Seperti kepada saudara-saudaranya, sang ibu, ipar saya itulah yang mengajari putra bungsu ini bagaimana berkomunikasi dengan papanya. Ipar saya tidak ingat lagi kenapa ia bisa jatuh cinta pada paman saya. Paling ia mengatakan bahwa perkawinannya dengan paman saya membahagiakan dia, dan tak tergantikan dengan siapapun. Saya tentu saja tidak pernah bertanya pada paman saya bagaimana dia bisa menyatakan aku cinta padamu pada istrinya. Semuanya terjawab dengan bagaimana melihat dia menghidupi perkawinannya dengan tanggung jawab dan cinta, membahagiakan istri dan anaknya. Samahalnya ipar saya, dia menunjukkan semua bahasa dan tanda cintanya dalam pemberian diri penuh kesabaran pada pamanku yang bisu.
Oleh merekalah di hari Valentine ini saya terdorong mensyukuri hidup perkawinan. Ikatan perkawinan, seperti yang dialami keluarga paman saya, melestarikan dan memperkaya cinta mereka. Tanpa ikatan, aku cinta padamu bisa liar, bisa absurd dan menipu, juga beresiko sementara, tanpa jaminan. Ikatan perkawinan tidak identik dengan status in relation, sedang dalam ikatan atau hubungan dengan seseorang. Ikatan, sederhana saja, seperti tali yang mengikat tangan anda dan saya. Tali adalah realitas yang menyatu dengan anda dan saya tapi pada saat yang sama berada di luar kita sebagai realitas yang berbeda. Kasih suami-istri dalam perkawinan diikat oleh cinta yang berbeda dari cinta keduanya, suatu cinta yang lebih besar yang berada di luar diri mereka dan pada saat yang sama menyatukan mereka. Apa untungnya hidup bersama orang bisu. Cinta kita tidak pernah bersumber dari diri kita sendiri seperti dengan mudahnya kita mengatakan aku jatuh cinta padamu, tapi dari luar diri kita, yakni dari Tuhan sendiri yang adalah kasih tak terbatas. Tanpa ikatan dari cinta yang lebih besar itu, saya yakin ipar saya telah lama meninggalkan paman saya yang bisu. Apa untungnya menikahi seorang bisu; apa gunanya menikahi orang dari suku ini dan itu, seorang yang kaya dan bukan serta banyak macam kategori-kategori lain yang sifatnya terbatas.
Hari-hari ini kita berbagi ucapan dengan kartu dan tanda dalam bahasa dan ekspresi yang beraneka ragam. Cinta seperti yang saya katakan sebelumnya, kompleks dan subjektif, pun dalam bahasa yang digunakan untuk menyatakannya. Namun, kisah cinta paman saya yang bisu mengingatkan sebuah realitas obyektif cinta yang tak bisa disangkal, kasih tak terbatas yang mengikat cinta kita. Karena kasih yang lebih besar itu, Valentine memberi hidupnya, dan dia terus dikenang.
Untuk Liven dan Mia
Kutulis ini,
Ronald,sx, la fête de st. Valentin

Attillo: Mengejar Cinta sampai ke Neraka

Ttg Euthanasia

Terbaring lesu di atas lantai beralaskan tikar, seorang bapak setengah baya berusaha bangun ketika melihat kami datang. Ini waktu liburan kemaren, di darah Barat Kamerun. Sebelumnya istri dan anaknya datang ke tempat kami untuk minta didoakan karena mereka merasa sang bapak tengah kerasukan setan. Dia mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan sahabat saya dengan baik walaupaun ada beberapa di antaranya yang tidak nyambung. Stress, itu kesan kami. Dan memang dia kehilangan pekerjaannya sebagai agen polisi. Dia butuh orang yang mendegarkannya, dan kepada kami dia menceritakan semua yang terjadi.
Jika anda pernah melihat The Tiger and The Snow, komedi cinta yang sekaligus protes atas perang Irak, film ini bagi saya sungguh mendekatkan saya pada orang-orang sakit, dan juga kenyataan penyakit itu sendiri. Alkisah, Atillio, pujangga dan profesor sastra sebuah universitas di Roma (dimainkan sendiri oleh Roberto Benigni) jatuh hati dengan seorang penulis cantik yang sedang menulis biografi dari seorang penyair Irak terkemuka. Sejak pertama kali bertemu Vittoria di Roma, setiap malam dia memimpikan Vittoria menjadi istrinya. Saking terobsesinya Atillo sampai kemana pun Vittoria dia hampir selalu mengikutinya, tak lain untuk menyatakan cintanya pada Vittoria. Bosan dengan perhatian Attilo yang berlebihan, Vittoria menampik cinta Attilo dan pergi ke Irak mengikuti pujangga Irak tadi.
Namun Attilo tidak pernah menyerah. Cintanya hanya satu, Vittoria. Bahkan ketika Vittoria dikabarkan hampir mati di Irak, Attilo segera mencari tiket pesawat menuju Irak. Irak saat itu bagai ‘neraka’, hancur luluh dibombardir Amerika Serikat. Vittoria, oleh pujangga Irak tadi, dikabarkan akan mati karena kurangnya pengobatan setelah infrastruktur Irak hancur. Pantang mundur, Attilio tetap ingin ke neraka, menyelamatkan pujaan hatinya. Dengan susah payah, akhirnya ia tiba di Irak, mendapati Vittoria tengah akan mati. Di klinik di mana ia dirawat segala upaya pengobatan telah ditempuh, bahkan obat pun habis. Vittoria tetap terbaring makin mendingin. Bagi Attilo, Vittoria hidup. Dia lalu berusaha merawatnya sendiri; diciumnya, disentuh dan dibelai tubuh yang hampir tak bernyawa ini. Sepanjang hari ia duduk di samping Vittoria, bercerita, berpuisi dan bernyanyi, tapi kali ini bukan untuk mencuri hati Vittoria, tapi membuat dia hidup. Di balik tingkah Attilio yang seperti gila, ada harapan dan kemurnian. Attilio di samping Vittoria, bukan lagi seorang pemimpi cinta, tapi seorang yang berharap, seorang penyembuh.
Attilio membantu saya menangkap insight Injil minggu ini (Mrk.1:29-39) kehadiran Yesus dan iman kepada-Nya yang menyembuhkan. Mertua Petrus didapati Yesus sedang sakit seperti demam. Yesus lalu mendekatinya, memegang tanggan mertuanya, lalu tak lama kemudian ia sembuh dari sakitnya. Yesus beda dengan dukun, ahli ramal atau tukang nujum yang menunggu di rumah, mengucapkan mantra irasional untuk menyembuhkan orang sakit. Ia datang, hadir, menyapa dan menyentuh kita. Semua peristiwa penyembuhan dan pengusiran setan dalam Injil ditandai dengan kehadiran yang menyelamatkan ini. Yesus adalah satu-satunya penyembuh sejati, itulah warta Injil minggu ini.
Kehadiran Yesus membutuhkan iman, pengharapan sebesar Attilo, dan kepercayaan akan kuasa-Nya yang menyembuhkan. Kita bisa bertanya, bagaimana mungkin orang-orang seperti Vitoria, yang dalam keadaan koma, bisa menyatakan imannya. Iman orang-orang dekat, yang mengharapkan kesembuhan si sakit, iman itulah yang ikut membuat kesembuhan menjadi mungkin. Peristiwa penyembuhan tidak pernah lepas dari iman bersama, iman komuniter. Dan betapa lagi-lagi, Attilo, bisa jadi contoh tentang iman itu.
Kisah Injil minggu ini dan Attilo mengingatkan saya akan segala macam bentuk pelayanan orang sakit dan semua orang yang terlibat langsung dalam karya medis, termasuk mereka yang tengah berusaha keras menemukan pengobatan baru untuk penyakit yang belum tersembuhkan. Baru-baru ini media internasional membicarakan rencana dan anjuran Euthanasia atas seorang wanita Italia berusai 38 tahun, Eluana Englaro yang menderita koma sejak tahun 1992. Sikap banyak orang yang pro kehidupan, termasuk Gereja didasari banyak atas kisah Injil ini. Permintaan euthanasia bahkan dari si sakit sendiri tidak pernah merupakan permintaan obyektif, keinginan sejati melainkan petunjuk agar ia dimengerti, ditolong dan ditemani. Pesan Injil hari ini jelas, pergi dan menanggapi permintaan yang sering tak terkatakan ini. Dan betapa The Tiger and The Snow adalah protes terhadap euthanasia. Mari bergabung bersama kami. Jadilah penyembuh!

Ronald,SX , Yaoundé, 08 Fevrier 09
Yang menolak Euthanasia

Blogger Template by Blogcrowds